KompasTV Jawa Timur - Kemajuan teknologi digital bisa diibaratkan seperti pedang bermata dua. Satu sisi, teknologi digital membuat hidup semakin mudah. Kemajuan perangkat teknologi digital memungkinkan manusia terhubung dan berkomunikasi secara global melintasi sekat-sekat dan batas geografis. Di samping itu, kemajuan teknologi digital juga telah membuka peluang baru selebar mungkin dalam segala bidang kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan pengembangan pribadi. Berkat kemajuan teknologi, seorang pedagang bisa menjangkau pasar yang luas ke seluruh penjuru dunia. Para pelajar atau mahasiswa dapat mengakses bahan belajar yang yang diinginkan dari berbagai sumber dan institusi pendidikan mana pun di dunia. Bahkan seorang pengamen jalanan yang biasa menampilkan kemampuan bermain musiknya di bis kota dan di warung atau cafe pun bisa dengan cepat viral dan dalam waktu sekejap menghiasi TV nasional. Fenomena-fenomena tersebut hampir mustahil dijumpai pada waktu 20 atau 30 tahun yang lalu saat perkembangan teknologi digital belum secanggih sekarang ini.
Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi digital juga dapat menimbulkan berbagai macam dampak negatif. Dampak negatif baik secara biologis, psikologis, dan kesehatan fisik maupun kesehatan mental bagi para pengguna yang sayangnya hal itu sering diabaikan. Di era digital ini, hampir semua kehidupan sehari-hari bergantung pada gawai. Ketergantungan ini, menurun Lin, dkk. (2013) dapat menimbulkan permasalahan fisik seperti nyeri otot, sakit mata akibat kelelahan mata, penglihatan kabur, iritasi, merah mata. Selain itu, beberapa pengguna juga pernah mengalami ilusi pendengaran (sensasi mendengar nada dering dan merasakan getaran ponsel. Efek lainnya adalah tenosynovitis de quervain (kelemahan pada ibu jari dan pergelangan tangan). Kondisi lain yang sering dialami akibat penggunaan gawai berlebih adalah digital fatigue atau kelelahan akibat penggunaan media digital. Kondisi ini ditandai dengan sakit mata, lelah, dan perih, sakit kepala dan migrain, nyeri otot leher, bahu, atau panggung, sensitivitas berlebih terhadap cahaya, rasa lemah, lesu, tidak bertenaga, dan malas bergerak (Korunovska, & Spiekermann, 2019).
Dampak psikologis dan kesehatan mental, menurut riset yang dilakukan oleh Bellis, Sharp, Hughes, & Davies (2021) menunjukkan bahwa ketergantungan dan penggunaan media digital yang berlebih atau disebut juga dengan Digital Overuse and Addictive Traits (DOAT) berpengaruh terhadap rendahnya harga diri (self-esteem) seseorang, membuat orang rentan untuk mengisolasi diri, dan menimbulkan kecemasan. Hal tersebut dapat terjadi karena sangat mungkin individu melakukan perbandingan sosial (social comparison) dalam hal kemapanan ekonomi, prestasi, karir maupun pendidikan dengan pengguna lain di dunia maya yang pada akhirnya membuatnya tidak aman (insecure). Selain itu, menurut Drath dan Horch (2014) masyarakat di era digital ini sangat rentan mengalami gejala depresi. Gejala tersebut muncul akibat dari ketidak mampuan individu dalam mengatur intensitas penggunaan dan kegagalan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri. Selain itu, muncul patalogi baru, seperti “nomophobia” (No-Mobile Phobia) atau ketakutan tanpa ponsel ketakutan terputus dari internet, FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan akan kehilangan momen dan informasi, “Textaphrenia” dan “Ringxiety” yaitu sensasi palsu setelah menerima teks pesan atau panggilan yang mengarah untuk terus menerus memeriksa perangkat; dan “Textiety” yaitu kecemasan menerima dan merespons dengan segera ke pesan teks (Taneja, 2014).
Dampak buruk di atas tidak lantas membuat seseorang dapat dengan mudah beranjak atau lepas dari gawai. Mau tidak mau di era digital ini, manusia sudah menjadi homo digitalis dan hidup sebagai masyarakat digital (digital society). Dampak fisik dan psikologis tersebut bisa dialami oleh siapapun, maka tidak ada pilihan lain, manusia harus berdamai dengan teknologi digital. Berdamai dalam arti aktif, bukan berdamai dalam arti “pasrah” atau pasif. Agar dapat merasa bahagia dan sejahtera secara psikologis, individu perlu menyalurkan penggunaan media digital menuju rasa nyaman, aman, puas, dan mendapatkan pemenuhan diri (fulfillment). Kondisi ini menurut Gui, Fasoli & Carradore (2017) disebut dengan digital well-being.
Agar memiliki digital well-being yang baik, Van Deursen & Van Dijk (2014) menyarankan individu perlu memilki keterampilan digital skills. Keterampilan ini meliputi “keterampilan strategik” yaitu kapasitas menggunakan media digital untuk memperoleh manfaat tertentu serta mengelola efek samping dari komunikasi digital yang berlebihan. Dalam istilah Gui, Fasoli & Carradore (2017) keterampilan ini juga disebut dengan keterampilan meta cognitive. Sementara itu, keterampilan lain yang diperlukan adalah keterampilan atensi atau pemusatan perhatian. Keterampilan ini dapat diidentifikasi sebagai keterampilan untuk mencapai perhatian strategis yang berfokus dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menghindari tekanan yang disebabkan oleh arus informasi yang melimpah, serta meminimalkan pemborosan waktu dan perhatian pada kegiatan yang tidak relevan bagi individu. Individu harus mampu secara efisien menyaring rangsangan digital yang dalam banyangannya akan memberi kepuasaan agar sesuai dengan tujuan pribadinya.
Dengan seperangkat keterampilan tersebut, kita semua para pengguna gawai dapat lebih mudah berdamai dengan kemajuan teknologi digital. Kita dapat mengelola teknologi digital secara lebih efektif dan tetap produktif. Dengan digital skill yang memadai, teknologi digital dapat digunakan seperti tujuan utamanya yaitu sebagai alat yang menjadikan dunia dalam genggaman manusaia, bukan sebaliknya malah menjadikan manusia dalam genggaman teknologi.
Penulis : Abdul Muhid, Guru Besar Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor : Luky Nur Efendi