Ramadhan dan Intelegensia Sosial
Opini | Selasa, 20 April 2021 | 11:30 WIBBulan ramadhan yang kita peringati setiap tahunnya selalu mengundang suka cita diantara antar-umat muslim. Baik karena ibadah selama bulan ramadhan dilakukan dengan menjalankan puasa (siyam) dari pagi sampai saat berbuka di waktu maghrib dilanjut ibadah tadarus Al-Qur’an dan shalat sunnah di malam hari (qiyam), infak dan zaqat, serta berbagai macam aktivitas positif lainnya yang bertujuan mengharapkan keridlhaan dari Allah SWT. Selain itu momentum ramadhan merupakan momentum dalam memperkuat karakter diri.
Mengapa memperkuat karakter diri menjadi penting, karena pasca-ramadhan, dimana saat kita memasuki bulan syawal, kita kembali menjadi pribadi yang suci. Namun, ujian justru dihadapi manakala kita melewati bulan ramadhan. Bagaimana menjadi pribadi dengan karakter yang islami, menjadi pribadi yang berbeda selama 11 bulan setelah ramadhan. Salah satu faedah dan manfaat ibadah puasa yaitu bagaimana menempatkan dirinya dalam mengarungi hidup dan kehidupan di muka bumi ini yang selalu diawasi dan dilihat oleh sang kholiq.
Dengan berpuasa tidak ada yang tahu kecuali dirinya dengan Allah SWT, orang yang tidak berpuasa tetapi pura-pura berpuasa, maka orang lain tidak akan tahu kecuali ada yang menyaksikan dan dipertontonkan bahwa yang bersangkutan tidak berpuasa. Dengan begitu, menjalani 11 bulan setelah puasa, kepribadian sesorang sudah terbentuk bahwa semua perbuatan dan prilaku kita ada yang melihat dan mengawasi sehingga untuk berbuat tidak jujur.
Menjalankan perintah agama yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara kontekstual merupakan. Mentauladani sikap dan perintah Rasulullah Muhammad SAW didalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki kepekaan didalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai seorang muslim, dan sebagai seseorang yang memimpin sebuah institusi pendidikan tinggi, saya menyadari betul. Betapa intelegensia sosial ini dibutuhkan bagi seorang pendidik yang cendekia, bagi seorang pimpinan yang arif, serta menjadi pribadi yang mengkhidmatkan ilmu dan tenaganya dalam mengembangkan suatu organisasi. Sungguh hal tersebut bukan persoalan yang mudah, membutuhkan tenaga, hati, dan pikiran untuk mencapai karakter tersebut.
Intelegensia sosial bermakna kemampuan seseorang untuk memahami dan mengatur dan hidup bersama antar-manusia secara baik dan toleran, serta dapat bertindak bijak dalam hubungan manusia. Dibutuhkan pengetahuan, kemampuan, dan teknis dalam hubungan sosial yang dilakukan. Membentuk karakter intelegensia sosial. Sifat dan karakter seorang intelegensia dibentuk tidak hanya dari proses mempelajari tekstual keagamaan semata.
Uswah dari Rasulullah SAW
Rasulullah Muhammad SAW yang tidak hanya sebagai seorang ahli agama, namun juga kepala pemerintahan dan tauladan yang dapat menjadi contoh (role model) untuk watak dan kecerdasan beliau. Setidaknya, ada tiga aspek kecerdasan emosional Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik umat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Tiga kecerdasan tersebut yaitu cerdas diri, cerdas sikap, dan cerdas sosial. Cerdas diri mencakup sadar emosi, perasaan, pengaturan emosi, dan motivasi diri. Cerdas sikap mencakup lemah lembut, pemaaf, santun, penyayang, sabar, dan menghargai. Sedangkan cerdas sosial mencakup motivasi orang lain, menjalin hubungan baik dengan orang lain, empati, toleransi, dan membuat orang merasa nyaman.
Seperti riwayat ketika diusirnya Rasulullah dari negeri Thaif. Kala itu, perlakuan yang kasar dan biadab diterima Rasulullah atas dakwahnya. Walaupun banyak yang menentang dakwahnya disertai dengan tindakan aniaya bagi beliau, Rasulullah tidak lantas emosi. Justru, di saat seperti itu Rasulullah malah mendoakan mereka agar diberikan hidayah oleh Allah.“Walaupun orang-orang ini tidak menerima ajaran Islam, tidak mengapa. Aku berharap suatu masa nanti anak-anak mereka akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya,” ucap Rasulullah kala itu.
Tentu, Rasulullah Muhammad SAW menjadi indikator bagi pengikut-nya untuk mewujudkan pribadi yang memiliki kecerdasan/intelegensia, termasuk dalam kaitannya dengan kecerdasan sosial. Empati dan memperhatikan orang lain menjadi salah satu kata kunci dalam menjadikan seseorang dapat disebut memiliki intelegensia sosial. Kuncinya terletak pada kerelaan dan keikhlasan berkorban di satu sisi untuk menjadi sesorang yang membebaskan (liberatif), serta meletakkan kepentingan ummat/masyarakat banyak diatas kepentingan pribadi. Hal inilah yang secara konsisten dan terus menerus dapat dilanjutkan oleh ummat Rasulullah Muhammad SAW.
Ibrah yang ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang kehadirannya melebur di tengah-tengah persoalan sosial-masyarakat, tentunya memberi kesadaran kepada kita semua, bahwa sebagai manusia, dalam konteks hubungan antar manusia (hablum minannas) kita dituntut untuk menjadi pribadi yang lebih baik ke depan. karakter penyabar, cerdas, amanah, dan dapat bertanggungjawab menjadi indikator bagaimana seharusnya kecerdasan sosial tersebut dapat dibentuk.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk menjadi manusia yang lebih peka sehingga menjadi pribadi yang lebih baik pada bulan-bulan kedepan setelah bulan ramadhan berakhir, dan menjadi karakter yang permanen. Bukankah Allah SWT telah menyatakan: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Ramadhan telah memberikan pelajaran penting, bahwa puasa melatih diri menjadi pribadi yang tidak hanya bertaqwa dihadapan Allah SWT. Lebih dari itu, menjadi pribadi dengan karakter yang memiliki intelegensia sosal merupakan suatu syarat dalam menjadi manusia yang betul-betul seutuhnya