Puasa sebagai Zakat Diri

Opini | Selasa, 4 Mei 2021 | 15:28 WIB
Dr. KH. Reza Ahmad Zahid, Lc. MA. Ketua Komisi Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat MUI Provinsi Jawa Timur (Sumber: KompasTV Jawa Timur)

Sampai pada umat Nasrani, dikisahkan dari imam al Thabari bahwa mereka kaum Nasrani konon juga diwajibkan berpuasa di bulan Ramadlan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur dari waktu isya, hingga waktu isya’ lagi, juga tidak boleh berhubungan suami istri. Rupanya, hal itu cukup memberatkan bagi mereka. Melihat kondisi seperti itu, akhirnya mereka bersepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim, hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin. Mereka mengatakan; “Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari”, dengan begitu puasa mereka menjadi 50 hari.

Demikianlah puasa para nabi dan umat terdahulu, mereka melakukan puasa dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai predikat takwa. Kisah para nabi tentang tradisi dan ritual puasa mengisyaratkan banyak hikmah diantaranya adalah hikmah keselataman bagi diri orang yang berpuasa. Hal tersebut, dikarenakan puasa adalah ‘zakat’ bagi diri orang yang berpuasa. Dalam kitab al mustathrof terdapat satu kutipan hadits: “zakatnya jasad adalah puasa”. Layaknya zakat maal, ketika kita menzakati harta kita maka yang akan kita dapatkan adalah kebersihan dan kesucian untuk harta kita. Maka ketika kita berpuasa itu adalah satu proses untuk membersihkan dan mensucikan diri kita. Praktek puasa mengajarkan kita tidak hanya menjaga diri dari hal-hal lahiriyah yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, akan tetapi juga menjaga semua panca indra dan pikiran dari hal-hal kotor yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’alaa. Ketika kita mampu melalui materi ajaran puasa tersebut maka kita akan terbiasa dan mampu mengendalikan hawa nafsu kita dengan demikian hati dan jasad kita akan terjauhkan dari hal-hal yang mengotori kita. Seperti yang terkandung dalam makna hadits bahwa “puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan perkataan jelek yang merusak”. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Perisai ( ) adalah yang melindungi seorang hamba, sebagaimana perisai yang digunakan untuk melindungi dari pukulan ketika perang. Maka demikian pula puasa akan menjaga pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia.  Dalam satu riwayat hadits dari Hakim dari Abu Hurairah juga disampaikan bahwa:

Puasa bukan sekedar (menahan diri dari) makan dan minum. Akan tetapi puasa (adalah menahan diri) dari perkataan sia-sia dan jorok.”

 Puasa juga mampu menyelamatkan dan menjauhkan orang yang menjalaninya dari fitnah yang dapat menimpanya. Hidup kita diincar oleh fitnah, dari manakah datangnya fitnah? Kita tidak dapat memastikan, fitnah dapat terjadi dari tingkah laku diri kita sendiri yakni ketika kita lalai maka terkadang dapat menimbulkan fitnah yang menerpa diri kita. Fitnah bisa juga muncul dari salah satu anggota keluarga kita, yakni ketika ada dari bagian keluarga kita lalai, khilaf atau bahkan melakukan kesalahan maka imbas dari perbuatannya juga dapat mengarah kepada kita. Fitnah juga bisa muncul dari harta kita, yakni sengaja ataupun tidak sengaja harta yang kita miliki terkadang bisa membuat hati orang lain terhasud. Selain itu, fitnah juga bisa muncul dari tetangga kita sendiri. Begitulah fitnah, dan kita berharap terbebas dari fitnah dan termasuk solusinya adalah puasa.


TERBARU