Nasib TPQ Di Masa Pandemi

Opini | Selasa, 5 Juli 2022 | 11:37 WIB
Taufiqurohman, Direktur TKA-TPA-TQA Anwar Rasyid - TPA Percontohan Provinsi D.I. Yogyakarta (Sumber: Dok. Istimewa)

Hal yang lebih umum, TPA/TPQ tidak ditunjang infrastruktur komunikasi dan informasi yang merata, bahkan penggunaan telepon seluler pun tidak semua dimiliki para wali santri. Terlebih lagi wali santri banyak yang terbebani dengan kemampuan membeli paket internet dan hal teknis lainnya. Tantangan utamanya tentu posisi Pendidikan al-Qur’an yang tidak memiliki otoritas mengikat santrinya sebagaimana pendidikan formal lainnya. Alih-alih menjadi ‘pendidikan yang mengikat’, posisi TPA kebanyakan hanya menjadi pendidikan tambahan dan alternatif di tengah masyarakat ketimbang menjadi pendidikan pilihan.

Keadaan ini jika tidak segera disikapi dengan progresif, tidak menjadi bahan diskusi-diskusi para stakeholder, aktifis TPA/TPQ, bisa saja tantangan ke depan bukan hanya soal pandemi, namun berkurangnya minat belajar al-Qur’an melalui TPA/TPQ. Pada akhirnya, orang tua, santri, dan masyarakat untuk bisa membaca al-Qur’an mereka akan lebih memilih belajar privat- home visite, aplikasi-aplikasi seluler, maupun Youtube ketimbang harus mengantarkan ke TPA/TPQ dengan segala aturannya yang menyesuaikan protokol kebiasaan baru (new normal).

Memperkuat argumen di atas, salah satu portal berita nasional pada tanggal 29 Oktober 2020 pernah memuat liputan dengan tema “Menilik Keadaan Taman Pendidikan Al- Qur'an di Masa Pandemi” salah satu poin menyatakan: Saat TPA Al-Hikmah Jurugsari Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta masih dilaksanakan secara offline, pembelajaran bisa secara langsung mengoreksi bacaan dari para santri dan memberikan tugas secara langsung di kelas. Namun saat ini para pengajar harus menyiapkan materi dalam bentuk foto maupun video yang kemudian disebarkan melalui grup WhatsApp (WA) sehingga tugas bisa tertumpuk dengan tugas yang diberikan oleh sekolah. Hal tersebutlah yang membuat partisipasi dan antusiasme dari para santri menurun.

Akhirnya, harapan besar bagi lembaga pendidikan non formal seperti TPA/TPQ untuk terus memberikan inovasi dan layanan pendidikan yang maksimal dengan cara dikelola sebaik dan seprofesional mungkin. Stigma kepada TPA/TPQ sebagai ‘sekolah’ pengisi waktu luang harus dikikis dan diganti menjadi lembaga pilihan dan alternatif utama. Ketika pengelolaan pendidikan non formal semacam ini mengedepankan kualitas, maka keadaan pandemi maupun tidak, tak akan mempengaruhi kepercayaan dan antusiasme para orang tua untuk ‘menyekolahkan al-Qur’an’ putra-putrinya ke TPA/TPQ. Mari bangga menjadi guru ngaji, bukan profit dan materi yang dicari, namun perjuangan dan pelayanan pendidikan al-Qur’an yang terus menginspirasi.

Penulis : Taufiqurohman, Direktur TKA-TPA-TQA Anwar Rasyid - TPA Percontohan Provinsi D.I. Yogyakarta


TERBARU