Puasa Ramadan dan Rendahnya Keadaban Publik Kita

Opini | Kamis, 30 Maret 2023 | 12:01 WIB
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, S.Ag., M.Fil. I, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember (Sumber: Dok. Istimewa )

KompasTV Jawa Timur - Ramadan 1444 H telah hadir di tengah-tengah kita. Umat Islam kembali bersuka cita dengan datangnya bulan yang ditunggu-tunggu sebagai madrasah ‘reparasi diri’. Namun pertanyaannya, apakah puasa Ramadan yang dijalani bertahun-tahun ini telah mengubah muslim menjadi lebih? Lebih spesifik lagi pertanyaannya, apakah puasa yang dijalani muslim telah mengubah keadaban publik muslim menjadi lebih baik lagi. ?

Keadaban Publik yang juga disebut public civility adalah sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati dan peduli pada orang lain, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkannya dalam hubungan sosial dengan orang lain dalam kehidupan publik. Umumnya, warga di negara-negara maju memiliki public civility yang tinggi, sebaliknya warga negara yang belum maju atau terbelakang masih sangat rendah public civilitynya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa negara maju –sebagaimana saya sebut tadi--tentu mengalami proses panjang dan tidak tiba-tiba membangun public civility-nya.

Bagaimana dengan keadaban publik di negeri ini? Tentu, keadaannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Buktinya, kita masih juga menjumpai orang dengan mudah membuang sampah sembarangan. Tak peduli dengan kebersihan lingkungan, mereka asyik dengan buang sampah bahkan di sungai-sungai yang ada di sekitar kita. Hadits an-nadlaftu minal iman (kebersihan adalah sebagian dari iman) masih sebatas  slogan yang dipertontonkan di papan nama pinggir jalan raya. Hadits ini juga belum menjadi kesadaran yang built in dalam pribadi orang-orang (muslim) Indonesia. Terdapat jurang yang mengangga antara ajaran normatif dengan kenyataan di lapangan.

Ketiadaan public civility kita juga ditunjukkan dengan rendahnya kedisiplinan kita. Dalam kehidupan sosial, kedisiplinan belum menjadi bagian dari kita. Jam karet masih saja menjadi musuh bersama kita semua. Ini belum soal kedisiplinan yang berkaitan dengan kerja-kerja baik di sektor formal maupun informal. Padahal, kedisiplinan merupakan elemen keadaban publik yang menentukan kemajuan negeri ini di masa yang akan datang.  

Masih tentang kedisiplinan, kita masih sering menjumpai orang yang mengendarai motor menerobos lampu merah di jalanan tanpa merasa berdosa dengan apa yang dilakukannya. Mereka memandang tak ada korelasi agama dengan ketaatan pada aturan lalu lintas di negeri ini. Tak heran, jika ‘orang soleh’ pun dapat dengan mudah melanggar aturan lalu lintas ini. Padahal, melanggar aturan lalu lintas ini bisa menyebabkan kecelakaan yang membahayakan banyak orang.

Dus, antrean belum menjadi kebiasaan kita. Kita masih sering menerobos antrean panjang baik di bandara, stasiun, terminal dan fasilitas umum lainnya. Sebagian dari kita bahkan merasa bangga jika dapat melampaui antrean ini karena dinilai punya privellage (keistimewaan) tertentu dibanding warga negara yang lain. Kita masih belum dapat mengendalikan Emotional Quotient (kesabaran) kita menghadapi apa yang seharusnya kita lakukan di tengah-tengah kehidupan publik. Yaitu berlama-lama antre yang seharusnya menjadi kewajiban kita.       

Di ranah publik, kita juga masih sering mendengar caci maki orang di jalanan. Kecelakaan di jalan sering dijumpai berakhir dengan saling menyalahkan, caci maki dan bahkan saling memukul antara satu dengan lainnya. Kita semestinya menghadirkan harmoni di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Jika pun akhirnya harus menegur seseorang, demikian ini dapat dilakukan di ruang privat yang tidak diketahui banyak orang.  

1
2
3

TERBARU