Refleksi Hari Kebangkitan Nasional pada Bidang Pendidikan
Opini | Sabtu, 20 Mei 2023 | 06:00 WIBKompasTV Jawa Timur - Kebangkitan Nasional Indonesia adalah momentum sejarah yang sangat penting untuk membangunkan kesadaran nasionalisme dari keterpurukan dalam berbagai bidang. Fakta ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada tulisan ini peringatan hari kebangkitan nasional tahun 2023 difokuskan kebangkitan pada bidang pendidikan.
Kurikulum MBKM
Ada harapan besar hadirnya pendidikan integratif yang lebih prospektif dan dapat dirasakan oleh stakeholders, yaitu hadirnya kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Saya berpendapat kurikulum MBKM ini sebagai kebangkitan kurikulum di Indonesia saat ini. Secara paradigmatik kurikulum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan perubahan dari waktu ke waktu. Kurikulum sebelum MBKM adalah kurikulum yang sesuai dengan zamannya masing-masing saat itu. Kini kurikulum MBKM juga sesuai dengan tuntutan perubahan saat ini di tengah kompleksitas kehidupan, untuk membekali anak didik di tengah tantangan yang kompleks diperlukan kompetensi dan pengalaman belajar yang komprehensif pula, dan hal tersebut dapat disiapkan melalui kurikulum MBKM.
Kurikulum MBKM ini lahir beriringan dengan masa pandemi akibat covid 19 akan tetapi spiritnya tidak redup di tengah implementasi yang terus mengalami kemajuan dan perbaikan-perbaikan. Sekilas fakta, pada tahun pertama masa pandemi, siswa dan mahasiswa mengalami banyak masalah belajar dalam proses pendidikan yang dijalani. Pembelajaran daring sebagai solusi saat masa pandemi pada awalnya dianggap bisa mengurangi beban belajar, akan tetapi pada perjalanannya anak didik sering mengalami masalah belajar dan titik jenuh, setidaknya dari hasil wawancara melalui grup dengan 150 mahasiswa yang saya lakukan pada awal bulan Mei 2021, hasilnya 90% mahasiswa mengatakan tidak maksimal belajarnya dan merasa jenuh kuliah daring selama masa pandemi.
Permasalahan dalam pembelajaran daring pada masa pandemi juga dapat dibaca pada hasil survei Saiful Mujani Research Centre (SMRC) tahun 2020, mayoritas anak didik mengalami banyak masalah saat mengikuti pembelajaran daring. SMRC melakukan survei pada 2.201 responden mahasiswa atau siswa yang belajar online Dari jumlah tersebut, 87 persen mengikuti pembelajaran online. Saat ditanya apakah mereka menghadapi masalah yang mengganggu dengan belajar online, 92 persen menjawab sangat atau banyak masalah. Jawaban mereka yang belajar atau kuliah online, hampir semua atau 92 persen merasa sangat banyak atau cukup banyak masalah yang mengganggu dengan belajar atau kuliah online (Tribunnews.com 18/8/2020).
Pertanyannya bagaimanakah cara mewujudkan pendidikan integratif? Secara sederhana mudah diwujudkan dengan cara mengadopsi salah satu konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara, jadikanlah anak didik sebagai manusia merdeka, yang dalam konteks kebijakan pendidikan saat ini dikenal dengan MBKM. Secara spesifik merdeka belajar menunjukkan bahwa anak didik dan pendidik menjadi manusia merdeka dalam menentukan belajar dalam berbagai aspeknya.
Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Konsep pembelajaran menekankan pada proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) dan transformasi keterampilan (transfer of skill), sedangkan konsep pendidikan lebih menekankan pada transformasi nilai dan keteladanan (transfer of value). Dalam kurikulum MBKM, di antaranya diarahkan pada pendidikan integratif, yaitu menekankan pada pembelajaran yang dilalui dengan proses mengintegrasikan berbagai lingkungan dan sumber belajar secara holistik dan fleksibilitas sekaligus menghasilkan capaian pembelajaran yang diharapkan, tanpa terikat sesuatu yang bersifat monoton, teknis, dan instrumental. Di sisi lain pendidikan penting sekali terintegrasi dengan lingkungan alam dan sosial yang bisa membahagiakan bagi semua pihak yang dikemas melalui suguhan lingkungan alam yang asri, indah, nyaman, dan dapat memberikan kesan dan perasaan yang menyenangkan (enjoyable) bagi siapapun.
Apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pendidikan integratif? Pertama, menjadikan anak didik sebagai subyek belajar yang merdeka seperti pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dengan memposisikan anak didik menjadi manusia merdeka, tidak diikat dengan ketentuan-ketentuan teknis administratif yang terlalu kaku, dan memberikan fleksibilitas belajar di manapun dan kapan pun. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan dari ukuran-ukuran administratif atau instrumental, akan tetapi kompetensi, skill, kesungguhan, pengalaman, kejujuran, keberkahan, dan keikhlasan yang akan mengiringi keberhasilan seseorang.
Kedua, menjadikan pendidik sebagai orang yang merdeka. Menjadikan pendidik menjadi manusia merdeka tidak berarti bebas melakukan apa saja, misalnya tidak mengajar dalam waktu lama tanpa alasan yang dibenarkan, tidak mengikuti aturan, dan lain sebagainya. Akan tetapi pendidik, dalam hal ini dosen dan guru memiliki jiwa kebebasan dalam mentransformasikan ilmu secara fleksibel, menentukan sumber-sumber belajar, menyiapkan setting pembelajaran yang bermakna, dan lain sebagainya. Di sisi lain, kesadaran yang perlu ditumbuhkan kepada pendidik adalah bahwa mendidik adalah amanah atau kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, dan di dalam amanah tersebut ada hak anak didik mendapatkan transformasi keteladanan, ilmu, pengalaman, dan nilai-nilai luhur. Kesadaran seperti ini menjadi inheren pada pribadi pendidik untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, mewujudkan lingkungan belajar yang kondusif bagi semua atau sivitas akademika kampus atau warga sekolah. Lingkungan belajar yang dimaksudkan di antaranya lingkungan alam yang asri, bersih, nyaman, dan lingkungan sosial yang penuh keakraban, persahabatan, serta harmoni . Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan bekerja yang tidak kondusif secara alam dan sosial akan berdampak pada penurunan semangat dan perasaan yang membebani.
Keempat, menciptakan suasana pendidikan yang saling peduli antarsesama, sekalipun tentang hal-hal yang biasa, akan tetapi bisa mengekspresikan perasaan yang luar biasa bagi orang lain, misalnya memberi ucapan selamat ulang tahun, selamat atas prestasi yang dicapai oleh kolega dan mahasiswa atau siswa. Kelima, menyediakan waktu bersama untuk suatu kegiatan yang melibatkan sivitas akademika atau warga sekolah secara berkala. Hal ini dapat memupuk kebersamaan antarsesama dalam menjalankan tugas dengan perasaan bahagia, nyaman, dan ceria. Kebersamaan pada situasi demikian akan berdampak secara psikologis pada proses pendidikan, baik semua pihak.
Kebijakan MBKM oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah menginspirasi para pelaku pendidikan dan institusi pendidikan untuk mewujudkan kemerdekaan belajar dan sekaligus mewujudkan pendidikan yang membahagiakan bagi semua pihak. Spirit kemerdekaan belajar dan pendidikan integratif ini penting diwujudkan, sehingga kenyamanan belajar dan kebahagiaan dapat dirasakan. Oleh karena itu kurikulum dan pembelajaran perlu ditata dengan sebaik-baiknya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan tetap mengacu pada capaian pembelajaran dan lulusan yang siap untuk melangsungan kehidupannnya dengan bekal kompetensi, pribadi berkarakter, pengalaman, dan keterampilan di tengah tantangan abad 21.
Sekilas Profil SDM di Perguruan Tinggi
Jumlah guru besar (GB) dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan, dan di antara mereka banyak yang relatif muda sekitar umur 40-45 tahun, bahkan ada beberapa yang kurang dari umur 40 tahun. Peningkatan jumlah GB dalam usia produktif ini memberikan harapan besar bagi kemajuan bangsa, khususnya dunia pendidikan di Indonesia melalui kontribusi karya-karya yang dihasilkan. GB memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal keilmuan sesuai bidang masing-masing dan dalam membangun bangsa ke depan menjadi lebih baik. Sebelum tahun 2015 tidak banyak GB dimiliki oleh Perguruan Tinggi, padahal saat itu persyaratan menjadi GB lebih mudah dan lebih ringan jika dibandingkan dengan persyaratan GB setelah tahun 2015 sampai saat ini sejak diberlakukan persyaratan khusus, yaitu memiliki artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi (JIB) yang terindeks Scopus/WoS/sejenisnya. Pertanyaan menariknya mengapa ketika persyaratan menjadi GB lebih ringan dan mudah saat itu tetapi jumlah guru besar tidak meningkat signifikan? Sedangkan ketika persyaratan menjadi GB saat ini lebih berat dan sulit akan tetapi jumlah guru besar justru meningkat secara signifikan. Saat ini jumlah guru besar di Indonesia sekitar 2,61%, jumlah ini masih kategori rendah jika dibandingkan dengan jumlah dosen aktif di Indonesia sebanyak 300 ribu lebih sampai tahun 2023.
Atmosfir akademik di perguruan tinggi saat ini lebih terbuka dan kondusif dibandingkan situasi dan kondisi 5 tahun lalu ke belakang, situasi dan kondisi seperti ini memberikan spirit dan support yang luar biasa bagi kalangan dosen, khususnya kalangan dosen muda untuk mengaktualisasikan diri dalam pengembangan keilmuan melalui studi lanjut, penelitian, pengabdian, publikasi ilmiah dan kegiatan-kegiatan akademik lainnya, apalagi birokrasi di internal perguruan tinggi semakin kondusif dan terbuka seiring dengan kebutuhan akan peningkatan sumber daya manusia yang menjadi salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) perguruan tinggi yang harus dicapai. Sehingga banyak dijumpai program percepatan guru besar yang disiapkan oleh perguruan tinggi secara baik dan professional melalui coaching clinic, support dana penelitian, dan workshop penulisan karya ilmiah serta publikasi di jurnal internasional bereputasi. Walhasil keadaan seperti ini ke depan diyakini akan membawa peningkatan indeks sumber daya manusia Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara lain. Oleh karena itu seiring dengan peringatan hari kebangkitan nasional ke-115 Tahun 2023, pendidikan di Indonesia dalam berbagai lini dan bidang, SDM-nya harus bangkit dan bergerak maju menuju masa depan yang lebih gemilang. Selamat Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2023, semoga selalu memberikan spirit untuk kebangkitan sumber daya manusia Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang.
Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Direktur LPPM Universitas Negeri Surabaya, dan Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur