Membaca Arah Politik Kiai Kampung pada Pilpres 2024

Opini | Selasa, 12 Desember 2023 | 11:20 WIB
Prof. Dr. Muhammad Turhan Yani, MA. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Direktur LPPM Universitas Negeri Surabaya, Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, Ketua Bidang Pengembangan SDM, DPP-ADPISI (Sumber: Dok. Istimewa )

Surabaya, Kompas.TV Jawa Timur - Istilah kiai kampung merujuk pada terminologi yang sering digunakan oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia (RI), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), padanan kiai kampung adalah kiai desa atau kiai ndeso. Di samping kiai kampung, ada istilah yang lebih spesifik lagi, yaitu kiai khos, yaitu kiai yang memiliki kharisma dan maqom (derajat) tinggi karena kealiman, keilmuan, ketokohan, pengaruh, dan akhlaknya. Dalam kaitan dengan peran kiai dalam perpolitikan di Indonesia pada era reformasi, Gus Dur lah yang mempopulerkan istilah kiai khos dan kiai kampung, tepatnya menjelang Pemilu Presiden saat itu yang mengantarkan Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI.

 

Kini menjelang Pemilu Presiden 2024, peran politik kiai dimunculkan kembali ke permukaan seiring dengan gawe politik nasional lima tahunan. Selain kiai pesantren, kiai kampung juga memiliki peran penting dalam membimbing umat pada skala lokal di desa, dalam kaitan ini semua pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) memiliki peluang besar untuk memperoleh restu, dukungan, dan doa dari kiai kampung karena pengaruhnya pada tingkat lokal di desa secara langsung kepada jamaah atau umat. Ibarat tombol lampu listrik, kiai kampung adalah tombol pusatnya di tingkat desa. Sekali mendapat dukungan dari satu kiai kampung hampir semua jamaah pada tingkat kampung/desa akan mengikutinya, apalagi biasanya kiai-kiai kampung juga memiliki komunitas dengan kiai kampung lainnya yang diikat secara emosional dalam sebuah pertemuan atau kegiatan rutin di tingkat kecamatan bersama dengan para jamaahnya.

 

Adalah Gus Dur yang mempopulerkan peran penting kiai kampung, selain kiai khos dalam perpolitikan pada era reformasi. Dalam perjalanan politik Gus Dur sampai menjadi Presiden RI tidak lepas dari peran penting kiai khos juga. Terminologi kiai khos diilustrasikan sebagai wasilah (penyambung) langsung ke langit untuk mendoakan karena diyakini kedekatan kiai khos dengan Tuhan, siapapun tokoh yang datang atau sowan kepada kiai khos maka dukungan kepada kepada sang tokoh politik atau calon akan menguat karena dianggap telah direstui dan didoakan oleh kiai khos.

 

Kini seiring dengan perubahan waktu, ketokohan kiai khos telah mengalami pergeseran karena saat ini menemukan kiai khos yang ketokohannya kharismatik dan diakui agak sulit ditemukan. Sekedar mengingat sejarah, para kiai khos yang sering disowani oleh Gus Dur saat itu adalah KH Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH. Idris Marzuki dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH. Muslim Imam Poro dari Klaten Jawa Tengah, KH. Ilyas Rukhiyat dari Pondok Pesantren Cipasung Jawa Barat, KH. Muchit Muzadi dari Jember, KH. Abdullah Abbas dari Buntet Cirebon, dan deretan kiai khos lainnya. Peran para kiai khos tersebut sangat penting dalam perjalanan karir politik Gus Dur.

 

Kini para tokoh politik atau pasangan Capres dan Cawapres napak tilas perjalanan Gus Dur, para pasangan Capres dan Cawapres pada sowan kepada para kiai pesantren, hanya memang ketokohan kiai yang didatangi saat ini tidak sebesar pengaruh para kiai khos saat itu karena kharisma dan ketokohannya, di samping itu situasinya memang berbeda. Saat Gus Dur terjun langsung ke politik beliau adalah satu-satunya tokoh NU, baik dari sisi dzurriyat (keturunannya) maupun pribadinya sendiri yang cendekiawan, politisi, budayawan, dan kiai NU, sehingga para kiai sepakat satu suara mendukungnya saat itu. Sedangkan para Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024 ini kader dari NU menyebar pada pasangan calon yang berbeda. Hebatnya para kiai pesantren bisa mengakomodasi tiga pasangan Capres dan Cawapres yang sowan tersebut, akan tetapi kelemahannya para Capres dan Cawapres dan tim suksesnya tidak bisa memastikan ke mana arah dukungan para kiai pesantren tersebut secara pasti karena para kiai pesantren sangat akomodatif kepada semua pasangan calon. Akan tetapi walaupun demikian pasangan calon tetap penting untuk mendapatkan restu dan doa dari kiai pesantren karena para kiai adalah panutan umat.

 

Melihat fakta demikian terkait kiai khos dan kiai pesantren, di sisi lain pada Pilpres 2024 dan juga Pemilu lainnya penting sekali mendapatkan restu dan doa dari kiai kampung. Kiai kampung atau kiai ndeso pada skala lokal menjadi kunci utama dalam dinamika perpolitikan nasional. Sebagai analogi dalam marketing penting sekali mengidentifikasi sasaran utama dalam promosi suatu produk, siapa yang dituju dan bagaimana cara mendekatinya, apabila ditemukan sasaran utama maka dialah yang memiliki peluang berhasil promosinya. Demikian pula para kiai kampung yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan di Indonesia, maka siapa yang mendapat restu dan doa dari kiai kampung, selain kiai pesantren, maka dialah yang akan mendapatkan peluang dukungan suara dalam Pemilu Presiden karena pilihan politik kiai kampung umumnya diikuti jamaah pada skala lokal di desa.

 

Saat ini, khususnya pada masa kampanye Pemilu Pilpres 2024 tinggal dilihat pasangan Capres dan Cawapres mana yang sering sowan atau silaturrahim kepada para kiai kampung, di samping sowan kepada kiai pesantren, maka pasangan tersebut yang akan memegang tiket utama menuju Istana Presiden dan Wakil Presiden.


Selanjutnya bagaimana membaca kecenderungan arah politik kiai kampung? Ini bisa dilihat dari berbagai aspek, saya mencoba menganalisis berdasarkan pengalaman saat berinteraksi dengan kiai kampung karena saya asli orang desa atau kampung dan sering bersama dengan para kiai kampung atau desa. Kecenderungan arah dukungan kiai kampung pada Pemilu Presiden di antaranya didasarkan pada beberapa hal, pertama, ketokohan secara personal pasangan calon, termasuk latar belakang calon, kepribadiannya, sepak terjangnya, dan lain sebagainya, kedua, orientasi perjuangan pasangan calon, termasuk perhatian dan keberpihakan kepada rakyat, keadilan, layanan keumatan, jaminan kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Ketiga  kecerdasan intelektual calon, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial-emosional, dan lain sebagainya, keempat, kesediaan calon untuk sowan atau silaturrahim kepada para kiai walaupun tidak kepada kiai kampung secara langsung. Umumnya para kiai kampung merasa senang atau gembira kalau melihat calon pemimpin sowan kepada para kiai atau tokoh pesantren karena calon pemimpin tersebut pasti akan mendapat nasihat dari kiai.

 

Secara keumatan genealogi sosial kiai kampung adalah kiai-kiai pesantren. Di antara kiai kampung adalah alumni atau pernah berguru atau mengaji kepada kiai pesantren, sehingga kalau melihat para calon pemimpin sowan atau silaturrahim kepada kiai pesantren, para kiai kampung juga ikut merasa gembira. Rasa gembira inilah yang menjadi pertimbangan penting pilihan politik para kiai kampung untuk memberikan dukungan politik kepada calon pemimpin karena dianggap dekat dengan ulama atau kiai, dan secara otomatis rasa kegembiraan tersebut disampaikan kepada umat atau para jamaah, tanpa dipaksa umat juga akan mengikuti pilihan politik kiai, dengan sebuah ungkapan populer "Sami'naa wa Atho'naa" yang artinya kami mendengar nasihat dan kami patuh pada kiai. Ini adalah modal sosial penting bagi siapapun yang ikut kontestasi dalam perpolitikan. Kelima, para kiai kampung umumnya tidak menyukai dengan hiruk-pikuk kampanye yang berlebihan, baik performance yang ditunjukkan oleh pasangan calon, tim sukses, maupun oleh massa kampanye. Maka bagi pasangan calon siapapun yang dapat mengenali ke mana kecenderungan arah dukungan politik kiai kampung, penting sekali memahami indikator-indikator tersebut, tentu tidak sekedar untuk kepentingan pragmatis pemilu saja akan tetapi secara natural calon adalah memang orang layak menjadi figur pemimpin yang baik.

 

Wallahu A’lam Bisshawab.


TERBARU