Kompas TV kolom opini

Menjelajah Menjemput Lailatul Qodar

Senin, 26 April 2021 | 11:56 WIB
menjelajah-menjemput-lailatul-qodar
Prof. Dr. Suparto Wijoyo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur & Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (Sumber: KompasTV Jawa Timur)

 

PANDEMI akeh cerito rek. Banyak kisah yang dapat diungkapkan dari ranah keluarga sampai negara. Situasinya menyajikan ringkasan hidup yang bersih diri, jaga jarak, krasan di rumah. Inilah wejangannya bahwa setiap waktu ada saatnya dan setiap saat menyajikan waktu. Di bulan inilah pewahyuan Alquran dihelat sebagai “dekrit teologis” yang merombak secara asasi status manusia bergelar Al-Amin yang semula dikenal sebagai Muhammad bin Abdullah, berubah menjadi Baginda Muhammad Rasulullah SAW. Ini merupakan peristiwa besar yang berasal dari ungkapan suci yang kini tertera dalam Alquran, Surat Al-alaq, ayat 1-5 yang maknanya sudah banyak dihafal: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Peristiwa kerasulan Muhammad SAW merupakan “proklamasi peradaban” yang spektakuler. Konstruksi sosial yang total dari kejahiliaan, niradab, menuju era peradaban mulia. Pengaruhnya sangat luas, sehingga Rasulullah SAW menurut para ahli yang berkelas internasional, adalah sosok agung yang paling berpengaruh dalam sejarah. Tidak ada manusia, nabi dan rasul yang tingkat pengaruhnya melebihi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Pada spektrum itu, Islam menjadi agama paripurna sebagaimana dapat dibaca dalam Alquran.

Kesempurnaan ajaran Islam dapat dirunut mulai mengatur aspek yang sangat sederhana selaksa urusan cuci tangan sampai pada yang amat kompleks mengenai tatanan bernegara. Islam hadir dengan ajaran yang memberikan sesi “jeda” untuk berintrospeksi melalui mekanisme puasa Ramadhan. Puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum-kaum terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW diritualkan kembali dengan capaian akhir berupa “derajat takwa yang suprematif”. Inilah tingkat ketaatan kepada seluruh regulasi Tuhan dalam segala segi kehidupan sebagai penanda bahwa  manusia tidak imun dari intervensi Tuhan.

Saatnya Mendialogkan Diri

Ramadhan menjadi sesi pembelajaran yang dipancangkan dari sebuah pegunungan. Terdapat tanda-tanda sepermulaan bahwa gunung sejatinya bukan sekadar gumpalan tanah melainkan kristalisasi nilai yang memadatkan materi untuk menjadi paku bumi. Gunung-gunung itu memanglah peneguh bumi. Gunung itu peredam guncangan sekaligus pembuncah kesuburan, karena dari erupsinya, bumi memanen larva bagi kehayatan tetumbuhannya. Dengannya itulah sumber pangan tersedia dan seluruh umat manusia maupun flora-fauna dengan segala jenis primata mampu menjalankan peran kehayatannya. 

Gunung itu menyimpan misteri sekaligus kekayaan inspiratif membangun sejarah. Gunung merupakan makhluk yang pernah ditawari menjadi “khalifah” untuk memakmurkan bumi bersama dengan hamba-hamba lain sebelum Allah SWT menciptakan manusia. Semua menjawab penuh santun tentang “ketidaksanggupannya” menjadi khalifah fil ard, pemimpin di dunia. Namun rekam jejak historisnya, ternyata gunung diikutsertakan Tuhan dalam mendesain peradaban mulia (akhlakul karimah). Saya menafsir hal ini karena sikap santunnya gunung-gunung itu saat “menghindari mandat berat” dari Allah SWT, hingga gunung tetap terlibat prosesi pembangunan laku yang karim di bumi.

Editor : Luky Nur Efendi

1
2



BERITA LAINNYA


Close Ads x