Seringkali kita mendengar bahwasannya kita berpuasa ini sama halnya dengan para umat-umat sebelum kita yang juga diwajibkan puasa. Diwajibkan puasa atas kita semuanya itu sesuai dengan arti QS Al Baqarah ayat 133, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Al-Baqarah/2: 183]. Dalam masalah ini, para ulama para mufassirin memiliki beberapa pendapat, yang pertama ayat tersebut mengatakan bahwa kita sama dengan orang-orang sebelum kita yaitu min haitsu shiyamihim. Dilihat dari sisi puasanya karena memang sama-sama berpuasa. Kemudian satu tinjauan lain, al-mufassirin mengatakan yang dimaksud dengan sama adalah umatnya. Dimana para umat zaman dahulu itu pun juga diwajibkan kepada mereka untuk berpuasa.
Menurut sejarah, semua nabi itu memiliki ritual berpuasa mulai dari zaman Nabi Adam ‘alaihissalam sampai Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam. Nabi Adam ‘alaihissalam ketika turun dari surga kemudian ada di bumi melakukan puasa karena biasanya di surga sejuk biasanya di surga itu anginnya semilir ketika sampai di bumi terkena sinar matahari maka kulitnya menghitam. Kemudian datanglah Malaikat Jibril ‘alaihissalam yang berkata, “wahai Adam jika kamu ingin merawat diri sendiri, cukup kamu berpuasa tiga hari setiap bulan”. Karena puasa itu akhirnya Nabi Adam ‘alaihissalam kulitnya memutih dan semakin bening. Oleh karena itu, puasa tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah ini kemudian dinamakan dengan ayyaamul biidl yaitu hari-hari putih karena memang sejarahnya Nabi Adam ‘alaihissalam membersihkan diri dengan puasa tersebut. Dan hingga akhir hayatnya, Nabi Adam ‘alaihissalam melakukan puasa di tanggal-tanggal tersebut di setiap bulannya. Selain itu, Nabi Adam ketika akan bertemu dengan Siti Hawa ‘alaihassalam tepatnya pada tanggal 10 Muharram pun juga berpuasa yang kemudian di pertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan kekasihnya yang telah lama berpisah yaitu Siti Hawa ‘alaihassalam di Jabal Rahmah. Tapi pertemuan Nabi Adam ‘alaihissalam dengan Siti Hawa ‘alaihassalam bukan pertemuan biasa yang tanpa ada tirakat. Nabi Adam ‘alaihissalam berpuasa terlebih dahulu untuk menemukan cinta sejatinya. Maka kita dapat mengambil i’tibar dari apa yang dilakukan Nabi Adam ‘alaihissalam, sepatutnya kita melakukan tirakat dalam rangka untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam rangka untuk menyelamatkan dirinya dan umatnya yang ikut di perahunya selama berbulan-bulan semuanya diwajibkan untuk berpuasa. Tidak hanya sekadar berpuasa menahan nafsu makan minum, namun juga menahan syahwat. Bahkan menurut Imam Ibnu Katsir, puasa nabi Nuh ‘alaihissalam dilakukan selama satu tahun penuh kecuali dua hari raya. Kemudian pada tanggal 10 Muharram Nabi Nuh ‘alaihissalam bersama dengan kaumnya mendarat di salah satu gunung yang namanya adalah Gunung Judi, di situ pun Nabi Nuh ‘alaihissalam memerintahkan kepada umatnya untuk berpuasa dalam rangka tasyakuran lillahi ta’ala. Dari hal tersebut bisa kita lihat bahwa berpuasa tidak hanya sekedar bertirakat untuk menggapai sesuatu yang diinginkan. Tidak hanya dalam rangka untuk mendapatkan hajat yang mereka inginkan. Namun, puasa dilakukan oleh para nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengungkapkan rasa syukur kepada Allah. Jadi berpuasa tidak hanya ketika susah, namun juga ketika mendapat nikmat dari Allah.
Dilanjutkan lagi pada zamannya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika di lempar ke dalam api oleh Raja Namrud, Nabi Ibrahim juga dalam keadaan puasa dan memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diselamatkan dari kobaran api dan Allah subhanahu wa ta’ala dan api tersebut berubah menjadi dingin. Oleh karena itu, berpuasa dapat menjadikan doa yang kita panjatkan menjadi terkabulkan dan lantunkan doa untuk keselamatan kita ketika kita berpuasa. Nabi Musa ‘alaihissalam juga berpuasa selama 40 malam dan bermunajat kepada Alloh subhanahu wa ta’ala ketika akan bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala di gunung Sinai (Turisina) dan kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kitab Taurat kepadanya, seperti yang dikisahkan dalam al Qur’an: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau…” (QS. Al-A’raf:143).
Selain itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam berpuasa saat beliau sedang menjalani hukuman di penjara akibat fitnah telah berbuat tidak senonoh kepada Zulaikha. Nabi Yunus ‘alaihissalam berpuasa saat berada dalam perut ikan nun (ikan paus). Ketika berbuka dikisahkan bahwa beliau memakan buah yang tumbuh di tepi pantai yang bentuknya seperti labu setelah dimuntahkan oleh ikan yang menelannya. Nabi Syuaib ‘alaihissalam berpuasa di usia tuanya, beliau terkenal saleh dan banyak melakukan puasa. Kehidupan beliau pun sangat sederhana. Puasa bagi Nabi Syuaib ‘alaihissalam adalah sarana untuk mendekatkan diri dan bertaqwa kepada Allah. Nabi Ayub ‘alaihissalam hidup dalam kekurangan, dan menderita penyakit menahun. Beliau banyak melakukan puasa dan beribadah kepada Allah Swt. Nabi Daud ‘alaihissalam biasa berpuasa satu hari dan berbuka (tidak berpuasa) satu hari. Disebutkan juga dalam perjanjian lama bahwa ketika putranya sakit keras, Nabi Daud berpuasa selama tujuh hari untuk memohon kesembuhan anaknya. Namun sang putra meninggal pada hari ketujuh ia berpuasa. Puasa Daud adalah puasa sunnah yang paling disukai oleh Allah. Hal tersebut dapat kita ketahui dari sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya:
– –
“Sebaik-baik shalat di sisi Allah adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihis salam. Dan sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud. Nabi Daud dahulu tidur di pertengahan malam dan beliau shalat di sepertiga malamnya dan tidur lagi di seperenamnya. Adapun puasa Daud yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya.” (HR. Bukhari no. 1131).
Sampai pada umat Nasrani, dikisahkan dari imam al Thabari bahwa mereka kaum Nasrani konon juga diwajibkan berpuasa di bulan Ramadlan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur dari waktu isya, hingga waktu isya’ lagi, juga tidak boleh berhubungan suami istri. Rupanya, hal itu cukup memberatkan bagi mereka. Melihat kondisi seperti itu, akhirnya mereka bersepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim, hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin. Mereka mengatakan; “Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari”, dengan begitu puasa mereka menjadi 50 hari.
Demikianlah puasa para nabi dan umat terdahulu, mereka melakukan puasa dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai predikat takwa. Kisah para nabi tentang tradisi dan ritual puasa mengisyaratkan banyak hikmah diantaranya adalah hikmah keselataman bagi diri orang yang berpuasa. Hal tersebut, dikarenakan puasa adalah ‘zakat’ bagi diri orang yang berpuasa. Dalam kitab al mustathrof terdapat satu kutipan hadits: “zakatnya jasad adalah puasa”. Layaknya zakat maal, ketika kita menzakati harta kita maka yang akan kita dapatkan adalah kebersihan dan kesucian untuk harta kita. Maka ketika kita berpuasa itu adalah satu proses untuk membersihkan dan mensucikan diri kita. Praktek puasa mengajarkan kita tidak hanya menjaga diri dari hal-hal lahiriyah yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, akan tetapi juga menjaga semua panca indra dan pikiran dari hal-hal kotor yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’alaa. Ketika kita mampu melalui materi ajaran puasa tersebut maka kita akan terbiasa dan mampu mengendalikan hawa nafsu kita dengan demikian hati dan jasad kita akan terjauhkan dari hal-hal yang mengotori kita. Seperti yang terkandung dalam makna hadits bahwa “puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan perkataan jelek yang merusak”. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perisai ( ) adalah yang melindungi seorang hamba, sebagaimana perisai yang digunakan untuk melindungi dari pukulan ketika perang. Maka demikian pula puasa akan menjaga pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia. Dalam satu riwayat hadits dari Hakim dari Abu Hurairah juga disampaikan bahwa:
“Puasa bukan sekedar (menahan diri dari) makan dan minum. Akan tetapi puasa (adalah menahan diri) dari perkataan sia-sia dan jorok.”
Puasa juga mampu menyelamatkan dan menjauhkan orang yang menjalaninya dari fitnah yang dapat menimpanya. Hidup kita diincar oleh fitnah, dari manakah datangnya fitnah? Kita tidak dapat memastikan, fitnah dapat terjadi dari tingkah laku diri kita sendiri yakni ketika kita lalai maka terkadang dapat menimbulkan fitnah yang menerpa diri kita. Fitnah bisa juga muncul dari salah satu anggota keluarga kita, yakni ketika ada dari bagian keluarga kita lalai, khilaf atau bahkan melakukan kesalahan maka imbas dari perbuatannya juga dapat mengarah kepada kita. Fitnah juga bisa muncul dari harta kita, yakni sengaja ataupun tidak sengaja harta yang kita miliki terkadang bisa membuat hati orang lain terhasud. Selain itu, fitnah juga bisa muncul dari tetangga kita sendiri. Begitulah fitnah, dan kita berharap terbebas dari fitnah dan termasuk solusinya adalah puasa.
'”Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh shalat, sedekah, dan amar ma'ruf nahyi mungkar.”
Selain keselamatan di dunia, bagi orang yang mengamalkan puasa juga akan mendapatkan keselamatan di akhirat, hal tersebut dikarenakan kelak nanti di akhirat, puasa akan memberi syafa’at dan memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar orang yang mengamalkannya dibebaskan dari siksa api neraka, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits:
: . ( )
“Dari Abdullah bin Amr RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shaum (Puasa) dan Alquran akan memberi syafaat bagi hamba (yang mengerjakannya). Shaum (Puasa) akan memohon, ‘Ya Allah, aku akan menghalanginya dari makan dan minum pada siang hari, maka terimalah syafaatku ini untuknya.’ Dan Alquran berkata, ‘Ya Allah, aku telah menghalangi dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafaatku ini untuknya.’ Akhirnya kedua syafaat itu diterima.” (HR Ahmad, Ibnu Abi Dunya, dan Thabrani).
Demikianlah hikmah puasa untuk keselamatan bagi orang-orang yang mengamalkannya, keselamatan di dunia atau pun di akhirat akan mereka dapatkan. Semoga puasa kita diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tentunya kita senantiasa mendapat syafa’at dari puasa yang kita lakukan. Amin yaa Robbal ‘alamiin.
Editor : Wahyu Anggana