Kompas TV kolom opini

Dari Gunung Cahaya Menuju Lailatul Qodar

Rabu, 20 April 2022 | 14:41 WIB
dari-gunung-cahaya-menuju-lailatul-qodar
Suparto Wijoyo, Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & SDA MUI Jawa Timur (Sumber: KompasTV Jawa Timur )

KompasTV Jawa Timur - PERUBAHAN besar sedang dipersiapkan dan peradaban mulia  dipancangkan dari sebuah pegunungan. Terdapat tanda-tanda sepermulaan bahwa gunung sejatinya bukan sekadar gumpalan tanah melainkan kristalisasi nilai yang memadatkan materi untuk menjadi paku  bumi. Berbagai referensi dapat dirujuk dan berlembar ayat boleh disimak bahwa gunung-gunung itu memanglah peneguh bumi. Gunung itu peredam guncangan sekaligus pembuncah kesuburan, karenanya dari erupsinya, bumi memanen larva bagi kehayatan tetumbuhannya. Dengannya itulah sumber pangan tersedia dan seluruh umat manusia maupun flora-fauna dengan segala jenis primata mampu menjalankan peran kehayatannya. Ada ruang dialog sekaligus menantang daya pikir manusia dengan ungkapan telak: “adakah dalam ciptaan-Ku ini yang tidak seimbang”? Bertadaruslah Alquran agar dapat memanen banyak hikmah, mengingat firman Tuhan itu manifestasi paling kasat mata (“positivisme”) nan paling komprehensif atas ajaran-Nya.  

Gunung itu menyimpan misteri sekaligus kekayaan inspiratif membangun sejarah. Gunung merupakan makhluk yang pernah ditawari menjadi “khalifah” untuk memakmurkan bumi bersama dengan hamba-hamba lain sebelum Allah SWT menciptakan manusia. Semua menjawab penuh santun tentang “ketidaksanggupannya” menjadi khalifah fil ard, pemimpin di dunia. Namun rekam jejak historisnya, ternyata gunung diikutsertakan Tuhan dalam mendesain peradaban mulia (akhlakul karimah).

Dari Gunung Cahaya

Salah satu gunung yang darinyalah perubahan peradaban yang penuh keagungan itu dikonstruksi Tuhan. Itulah Jabal Nur, Gunung Cahaya, gunung yang berjarak sekitar 2 mil saja dari Makkah. Gunung ini  tampak seperlemparan pandang terlihat sederhana, tetapi sangat memukau bagi  yang jeli menelisik dengan mata sukmanya. Di puncak Jabal Nur inilah ada tebing dalam lereng yang sulit diraih yang menyediakan “ruang pewahyuan”: Gua Hira. Sebuah gua yang sempit dan jauh dari tingkat kenyamanan kamar-kamar kaum modernis, apalagi dibandingkan dengan room hotel berbintang. Gua Hira hanya berukuran: panjang 1,8 meter dan lebar 0,8 meter. Di sinilah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendapatkan gelar Al-Amin (jujur-terpercaya) dari bangsanya itu “menyatukan diri bersama alam”.

Beliau menempuh jelajah hening, ruang sunyi, sisi tepi, dan pusat energi yang imun dari gemerlap duniawi. Menyendirikan jiwa-raganya untuk menemukan kesejatian, me-nyuwung-kan jasad memendarkan ruhani menyapa Illahi dengan gerakan  uzla, topo, memes rogo lan roso, bertahannuts, berkhalwat, bermeditasi mendialogkan diri kepada Yang Maha Tinggi. Langkah ini ditempuh mengingat di luaran Gua Hira terjadi tragedi kehidupan yang mengerikan. Manusia kehilangan martabatnya dengan bertindak mungkar, zalim dan nista. Pembunuhan anak-anak perempuan yang baru lahir dan merendahkan derajat perempuan  serta menjadikan materi (batu maupun adonan kue) sebagai sesembahan, berhala, adalah ekspresi jiwa yang sangat  jahil, bodoh sebodoh-bodohnya.

Nabi Muhammad SAW terpanggil untuk mengatasi kejahiliaan jiwa  ini mengingat  secara fisik bangsa Quraisy  amatlah maju infrastrukturnya, Makkah adalah pusat “adat dan perdagangan”. Kota  transkafila yang menguntungkan secara ekonomi.  Makkah  memiliki sumber daya teologis sempurna dari Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS  dengan Ka’bah dan Sumur Zam-zam. Hanya saja akibat watak jahiliyah (orang cerdas tanpa hidayah) inilah yang mempertindakkan manusia menjadikan Baitullah diberi ornamen patung-patung, arca-arca yang disembah sebagai Tuhan. Selingkup kahanan yang memerihkan  hati Baginda Muhammad SAW hingga  Allah SWT menjawab dengan penyampaian wahyu di 17 Ramadhan, yang dalam hitungan Hijriyah, saat itu “deklarasi utusan Tuhan”: Rasulullah Muhammad SAW  dalam usai 40 tahun, 6 bulan 12 hari. Diwahyukan Alquran Surat Al-Alaq ayat 1-5: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Perintah ini spektakuler,  pencahayaan iman dan ilmu secara integral.

Menjemput Lailatul Qodar

 Pewahyuan Alquran itu pada bulan Ramadhan merupakan “dekrit teologis” yang merombak secara “radikal” status manusia bergelar Al-Amin  yang semula dikenal sebagai Muhammad bin Abdullah semata,  berubah menjadi Baginda Muhammad Rasulullah SAW. Ini adalah peristiwa besar yang berasal dari ungkapan suci yang kini tertera dalam  Alquran, Surat Al-alaq, ayat 1-5 tersebut. Peristiwa kenabian dan kerasulan Muhammad SAW merupakan “proklamasi peradaban” yang spektakuler. Konstruksi sosial dan kenegaraan terombak secara total dari kejahiliaan,  niradab, menuju era  peradaban mulia. Pengaruhnya sangat luas, sehingga Rasulullah SAW menurut para ahli yang berkelas internasional, adalah sosok agung  yang paling berpengaruh dalam sejarah. Tidak ada manusia, nabi dan rasul yang tingkat pengaruhnya melebihi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam pun telah Allah SWT sempurnakan melalui utusan-utusan-Nya selama itu, dengan puncak supremasi utusan di tangan Muhammad SAW. Pada spektrum itu, Islam menjadi agama paripurna sebagaimana dapat dibaca dalam  Alquran.

Kesempurnaan ajaran Islam dapat dirunut dari mengatur  aspek yang sangat sederhana selaksa urusan cuci tangan dan mulut sampai pada yang amat kompleks mengenai tatanan bernegara. Islam hadir dengan ajaran Rabb Yang Maha Sempurna, termasuk memberikan sesi “jeda” untuk berintrospeksi melalui mekanisme puasa Ramadan. Puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum-kaum terdahulu, umat-umat para utusan-Nya sebelum Nabi Muhammad SAW dengan capaian akhir berupa “derajat takwa yang suprematif”. Inilah tingkat ketaatan kepada seluruh regulasi Tuhan dalam segala segi kehidupan, karena tidak ada ruas kehidupan yang tidak mendapatkan sentuhan norma dari Allah SWT. Hidup manusia tidak imun dari intervensi Tuhan dan ramadan memberikan lembar “sajadah” untuk meningkatkan derajat insani.

Pada lingkup itulah Allah SWT tidak membiarkan Ramadan tanpa ornamen yang mengesankan dalam menarik hati hamba-hambanya yang beriman. Puasa sendiri adalah  periodesasi spesial yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan atas itulah Tuhan menyediakan bonus yang supermewah berupa malam lailatul qodar. Tadarus Alquran semoga sudah sampai pada Surat Al-Qodr, ayat 1-5 yang sudah biasa dingajikan: “innaaa anzalnaahu fil lailatil-qodr, wa maa adrooka maa lailatul-qodr, lailatul-qodri khorum min alfi syahr, tanazzalul-malaa’ikatu war-ruuhu fiihaa bi’izni robbihim, ming kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il-fajr (sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam qadar, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan Roh Jibril dengan izin Tuhannya, sejahteralah malam itu sampai terbit fajar)”.

Subhanallah. Orang-orang beriman berkesempatan  meraih  kemuliaan yang lebih utama dari seri bulan (83-84 tahun). Apabila angka itu dikalkulasikan dengan jumlah usia masing-masing orang, maka terdapat beratus-ratus tahun umur hambanya yang “merayakan malam lailatul qodar”. Inilah tonggak optimisme  untuk mendapatkan “kemuliaan hidup” pada setiap sesi Ramadan.  Mari menuju puncak ramadan.

Editor : Luky Nur Efendi




BERITA LAINNYA


Close Ads x