Kompas TV kolom opini

Tahlil Untuk Buya Syafii, Dangdut Untuk Gus Dur

Senin, 30 Mei 2022 | 14:43 WIB
tahlil-untuk-buya-syafii-dangdut-untuk-gus-dur
(Sumber: Dok. Istimewa)

 

Penulis: Ahmad Zainul Hamdi

 

KompasTV Jawa Timur - Saat mendengar berita kematian Buya Syafii Maarif, jagad dalam diri saya rasanya berhenti. Saya tepekur terdiam. Tak kuasa menggambarkan arti kehilangan ini.

Saya tak memiliki kedekatan pribadi dengan beliau sekalipun persahabatan dengan anak-anak ideologisnya telah lama terbangun dan terpaut hingga sekarang. Ini adalah persahabatan anak-anak ideologis Gus Dur dengan anak-anak ideologis Buya Syafii. Kami meneladani guru-guru kami yang ber-Islam dengan ramah dan berbangsa dengan Pancasila. Kami sama sekali tidak baper untuk masalah-masalah khilafiya. Kami tak pernah berdebat tentang jumlah rakaat shalat Tarawih atau Qunut subuh. Bahkan, kami biasa bergurau tentang kapan masuk Bulan Ramadhan dan kapan 1 Syawal.

Pokoknya, di antara kami, hal-hal yang dulu menjadi sejarah tegang antara NU dan Muhammadiyah, kini menjadi bahan gurauan. Ketika ada tokoh Muhammadiyah atau NU yang memainkan isu-isu agama untuk mendapatkan keuntungan politik, kami berada dalam satu barisan menentangnya. Intinya, bagi kami, anak-anak ideologis Gus Dur dan Buya Syafii, ke-Indonesiaan ditenun kain kebhinnekaan dan dinaungi atap Pancasila. Ajaran yang terus terpatri adalah bahwa ke-Indonesiaan dan ke-Islam bukanlah dua entitas yang saling menghancurkan, tapi saling membutuhkan dan melengkapi.

Karena itu, ketika terdengar kabar kepergiannya, rasanya saya tak rela. Di balik al-Fatihah yang berkali-kali saya kirimkan kepadanya, terselip pertanyaan yang bisa jadi adalah pertanyaan yang mengendap dalam dada kita semua: “Siapa lagi tokoh agama yang dengan kedalaman ilmu, kewibawaan, dan kharismanya memimpin kita untuk menjaga Indonesia dari rongrongan kelompok yang selalu menghadapkan antara kesetiaan kepada Indonesia dengan ketaatan kepada agama? Di tengah semangat agama yang terus dihiasai dengan makian, kebencian, dan nafsu untuk melenyapkan kelompok lain yang berbeda, kepergiannya adalah kehilangan yang mendalam, kedukaan yang teramat kelam.

Editor : Wahyu Anggana

1
2
3



BERITA LAINNYA


Close Ads x