Kompas TV kolom opini

Puasa Ramadan dan Rendahnya Keadaban Publik Kita

Kamis, 30 Maret 2023 | 12:01 WIB
puasa-ramadan-dan-rendahnya-keadaban-publik-kita
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, S.Ag., M.Fil. I, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember (Sumber: Dok. Istimewa )

Lalu, apa korelasinya dengan puasa? Saya menjadi ingat dengan pernyataan sufi besar dalam kitab Hikam (tt). “Man wajada tsamrata amalihi ‘aajilan fahuwa daliilun ‘ala qabuulihi aajilan”. Barang siapa yang menemukan buah amalnya di dunia, maka itu menjadi bukti amalnya diterima di akhirat. Artinya bahwa amaliah di bulan Ramadan yang tampak lebih baik menjadi penanda amal ibadah puasanya diterima Allah Swt. Ramadan dengan keadaban publik muslim; berintegritas, disiplin, mau mengantre, dan sebagainya menjadi tanda diterimanya puasa oleh Allah Swt.

Pada level mikro, puasa Ramadan mengajari kita untuk berdisiplin. Sahur dan buka puasa di waktunya adalah teladan kedisiplinan. Sementara, larangan marah dan emosi di waktu siang hari puasa adalah latihan Emotional Quotient dalam keadaan apapun. Demikian juga, kebersihan jasmani dan kebersihan rohani hal yang tidak terpisahkan dalam kebersihan diri seorang muslim, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an: qad aflaha man zakkaaha. Wa qad khaabaman dassaaha. (QS. As-Syam: 9-10). Di sini, puasa Ramadan sangat compitable dengan public civility.

Sementara, pada level makro, agama Islam juga sangat sesuai keadaban publik.  Semua ajaran Islam mengafirmasi keadaban publik. Misalnya hadits la dlarara wala dlirara  adalah keadaban publik terkait dengan lalu lintas untuk tidak membuat kerusakan untuk dirinya dan orang lain. An-nadlafatu minal iman misalnya adalah hadits untuk memprioritaskan kebersihan dalam segala hal.  Demikian juga man shabara dlafara tentang sabar dengan berbagai kondisi, termasuk mengantre.        

Tentu, nash-nash ini juga diperkuat dengan hadits yang mengatakan bahwa kita kontrak dengan orang muslim yang lain. Al-muslimuuna ala syuruutihim was shulhu jaizun bainal muslimiin. (HR. Hakim).  Kesepakatan untuk bersama-sama melakukan keadaban publik melalui berbagai regulasi dan peraturan yang telah ditetapkan di negeri ini. Kalau muslim mengingkari kesepakatan ini, berarti ia telah berbuat aniaya dan dianggap melakukan pelanggaran.

Lebih dari itu, kita punya kewajiban untuk taat pada pemerintah sebagaimana firman Allah Swt: Ya ayyuhalladziina aamanu Athiiullaha wa athiiur rasuul wa ulil amri minkum. (QS. An-Nisa: 29). Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian pada Allah dan Rasulnya serta ulil amri diantara kalian. Ulil amri, oleh para ulama,  juga diartikan pemerintah. Keadaban publik, adalah domain pemerintah dimana pemerintah yang melaksanakannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar negeri ini menjadi tertib dan teratur.

Imam Nawawi al-Bantani (Nihayatun Zain: tt) mengatakan: “Jika seorang imam mewajibkan sesuatu yang secara syar’i hukumnya wajib, maka menjadi wajib muakad. Jika seorang imam mewajibkan sesuatu yang sunah, maka hukumnya menjadi wajib. Jika seorang imam mewajibkan sesuatu yang mubah, maka hukumnya juga menjadi wajib selama mengandung kemaslahatan”. Seperti kita tahu, semua keadaban publik yang ditetapkan oleh imam –dalam hal ini pemerintah RI-- semuanya mengandung kemaslahatan sehingga hukumnya pun menjadi wajib. 

Walhasil, public civility ini yang semestinya menjadi acuan dalam kehidupan muslim dalam ruang-ruang publik. Dan puasa Ramadan adalah media menginternalisasi ajaran agama dengan keadaban publik (public civility) yang mendarah daging dalam pribadi seorang muslim. Semoga.

Wallahu’alam. ***

Editor : Wahyu Anggana




BERITA LAINNYA


Close Ads x