KompasTV Jawa Timur - Kalau diibaratkan seperti tamu, bulan ramadhan merupakan tamu istimewa dengan membawa kebaikan, keberkahan, kebahagiaan, dan pembelajaran. Tak berlebihan jika dua bulan sebelum ramadhan tiba Nabi ajarkan untaian harapan :" Allahumma barik lana fii rajaba wa sya'bana wa ballighna Ramadhan(Ya Allah berkahilah kami dibulan rajab dan sya'ban serta sampaikanlah kami untuk mengarungi kehidupan di bulan suci Ramadhan). Untaian harapan itu begitu populer dikalangan masyarakat mulai dari perkotaan hingga pedesaan.
Dalam tataran syariat, posisi puasa dibulan suci ramadhan sebagai bagian dari rukun islam sudah menjadi keyakinan bersama yang tak perlu dipertanyakan. Namun, ada banyak instrument ritual dan pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan ramadhan selalu diwarnai perbedaan-perbedaan. Sebutlah antara NU dan muhammadiah yang berbeda konsep delam mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadhan, jumlah rakaat tarawih, penggunaan bilal tarawih, dan perbebadaan-perbedaan lain yang bersifat Furuiyyah.
Kalo kita melihat praktik dilapangan lebih ditail, kita akan menjumpai adanya komparasi perbedaan, itu menarik untuk kita potret sebagai pembelajaran.
Di masjid Al akbar misalnya, kita akan melihat sebuah praktik shalat tarawih yang menampung dua kebiasaan masyarakat. Para jamaah yang kebiasaan shalat tarawihnya 8 rokaat geser kebelakang setelah menyelesaikan 8 rokaat. Sementara jamaah yang terbiasa dengan 20 rokaat terus melanjutkan hingga dua puluh rokaat. Plus shalat witir.
Ditempat yang lain, ada praktik perpaduan yang tak kalah menarik. Seperti pelaksanaan shalat tarawih 8 rakaat dan witir 3 rokaat dengan satu kali salam. Biasanya, praktik trawih seperti ini model senyap. Tanpa bilal. Namun, ada banyak masjid yang jumlah rakaat tarawihnya 8 rokaat dan disertai dengan bilal. Bacaan suratnya memakai at takatsur sebagaimana jamaah tarawih 20 rokaat.
Sepintas lucu dan menggemaskan. Bagi orang tertentu, hal seperti itu merupakan inkonsistensi dalam sebuah praktik keagamaan.
Diakui atau tidak, praktik di atas seakan menjadi rool model tersendiri bagi masyarakat metropolitan yang hetrogen. Sejauh ini, berdasarkan tinjauan penulis, belum ditemui kemudharatan subtantansial ditengah-tengah masyarakat.
Dari sisi tinjauan hukum islam, praktek di atas bukan termasuk mencampur aduk ibadah(talfiq) yang menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama yang memperbolehkan seperti kamal ibnu hamam, ad dasuki, ibnu amir dsb.
jika menoleh terhadap madzhab-madzhab terdahulu, satu
dengan yang lain terdapat berbagai perbedaan pandangan. Hal itu disebabkan(antara) karna mereka di hadapkan pada situasi yang berbeda. Padahal, sumbernya sama, yaitu al-Quran dan al-hadits.
Dari faktor kebutuhan psikologis manusia , perbedaan bermadzhab itu seakan menjadi solusi dalam menjalankan kreasi praktik keagaamaan, Tanpa menyalahi aturan baku(mujma'alaih) yang sudah menjadi ketetapan. Dari sini, islam selalu hadir seiring dengan perkembangan zaman(shalihun likulli zaman wal makan).
Perbedaan furuiyyah itu jika dikelola dengan baik akan menjadi khazanah, pertumbuhan intelektual, dan tentunya harmoni sosial. Satu dengan yang lain tidak lagi berebutan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Semua bermuara pada maqashid syariah yang sama yakni beribadah kepada Allah(hifdzud din).
Dari penghambaan secara vertikal, lalu naik menjadi penghambaan khorizontal. Artinya, potret ibadah yang bersifat kolaboratif di metropolitan di atas, dapat mengedukasi ummat islam tentang pentingnya menjaga keutuhan bersama dalam konteks bergama, berbangsa, dan bernegara. Berbeda, tapi tetap bersama untuk kemajuan bersama. Dengan parameter beragama yang jelas, Tanpa ada saling menyulutkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.
Selain keberkahan, Tamu ramadhan ini juga membawa perbedaan-perbedaan. Seyogyanya, bukan menjadi sebab terjadinya kerenggangan karna beda Praktek keagamaan yang bersifat furuiyyah. Perbedaan merupakan keniscayaan. Kepada bulan suci ramadahan, kita belajar untuk senantiasa berdamai dengan perbedaan.
Oleh: Fauzi Palestin, Sekretaris MUI Jawa Timur.
Editor : Luky Nur Efendi