Sementara itu, guru besar ekonomi Unair Imron Mawardi menyampaikan hal yang hampir sama. “Perlu penguatan BUMD Migas di sektor hulu maupun hilir sepanjang memiliki kemampuan. Belum semua WK migas yang beroperasi di Jatim telah memberikan PI kepada BUMD, sehingga perlu ada penekanan dari Kepala Daerah sebagai pemilik wilayah,” katanya.
Memang, kata Imron Mawardi, hulu migas merupakan sektor padat modal. “Tapi prinsipnya, jangan sampai PI yang diberikan kepada daerah skalanya berada di bawah kemampuannya. Begitu juga alokasi migas, perlu diutamakan untuk memberikan sesuai kemampuannya,” katanya.
Imron menyinggung soal kemampuan Pemprov Riau menegosiasikan jatah PI blok Rokan yang mencapai 10%. Juga Pemprov Kaltim yang mendapat alokasi 10% dari Blok Mahakam. “Prinsipnya sepanjang daerah mampu, berikan sesuai kemampuannya. Begitu juga untuk alokasi migas di sektor hilir.”
Ketua Komisi C DPRD Jatim Adam Rusydi secara agak khusus menyatakan, siap membantu negosiasikan alokasi gas untuk BUMD Migas dengan KKKS maupun dengan BUMN sesama pembeli gas, agar diperoleh alokasi yang besar sesuai kemampuannya. “Kami siap mengawal kepentingan BUMD Migas, sepanjang ada kemampuan dan sesuai regulasi yang berlaku,” kata Adam yang berasal dari fraksi Golkar tersebut.
Sementara itu, Martin Hasugian dari Kementerian ESDM menjelaskan panjang – lebar mengenai tatacara, regulasi, peran dan porsi daerah terhadap sektor migas. “Pemerintah akan terus berusaha menguatkan sektor migas karena kontribusinya terhadap APBN dan PAD cukup besar. Target produksi minyak bumi satu juta barel per hari akan terus diwujudkan,” kata Martin.
Menariknya, pada diskusi panel itu muncul wacana dari beberapa peserta tentang kemungkinan daerah (BUMD Migas) dijadikan sebagai off-taker terhadap seluruh hilir migas. Tentu melalui regulasi yang kuat, seiring semangat UU Otonomi Daerah yang telah diundangkan sejak 10 tahun silam.
Wacana ini muncul setelah diketahui adanya rencana KKKS yang mengoperasikan blok Ketapang untuk menurunkan alokasi gas kepada BUMD Migas milik Pempriov Jatim menjadi hanya 25 mmscfd dari sebelumnya 30 – 40 mmscfd, dengan alasan memperluas jaringan pasar ke sektor industri melalui PGN (BUMN). Padahal BUMD Migas milik Pemprov Jatim memiliki kemampuan finansial dan infrastruktur yang cukup untuk mendistribusikan alokasi gas ke sektor industri.
“Bahkan BUMD Migas lebih memahami karakter dan kepentingan industri yang ada di Jatim, sehingga lebih pas jika BUMD Migas yang mendapat alokasi lebih besar. Artinya sama-sama membawa kepentingan perekonomian daerah. Bahkan seharusnya BUMD perlu dijadikan off-taker untuk seluruh lifting migas yang beroperasi di wilayahnya,” kata salah satu peserta diskusi panel.
Editor : Wahyu Anggana