Puasa, Madrasah Pembentuk Perilaku Kedermawanan
Opini | Senin, 19 April 2021 | 12:22 WIBDus, pada mengakhiri puasa Ramadlan, setiap muslim diwajibkan memberikan zakat fitrah. Nabi Muhammad Saw bersabda: Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadlan bagi orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari kaum muslimin dengan memberi satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum”. (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim). Tujuan zakat fitrah agar tidak ada yang kelaparan dan kekurangan pada hari raya Idul Fitri. “Ughnuhum ‘anit thawafi fi hadzal yaum. Berilah orang fakir miskin itu kecukupan makanan pada hari raya itu (Red: Idul Fitri) sehingga mereka tidak berkeliling mencari makanan”.
Sebagai madrasah tahunan, salah satu hal utama yang juga dituju puasa adalah perilaku kedermawanan. Artinya, dalam puasa, seorang muslim dilatih untuk menjadi pribadi yang dermawan. Setelah ia bekerja keras mencari nafkah, ia dididik untuk berlapang dada memberikan hasil jerih payahnya pada sesama. Tentu, bukan hal yang mudah bagi seseorang untuk memberikan hartanya pada sesama.
Perilaku kedermawan dibentuk oleh worldview bahwa seorang muslim tidak boleh mencintai harta kekayaannya melebihi cintanya pada Allah Swt. Seperti kata Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam, bahwa kecintaan pada sesuatu akan membuat pecinta menjadi budaknya. Sementara, Allah ingin agar manusia menjadi hamba Allah semata, bukan ‘budak’ sesuatu tersebut. Logikanya, jika orang mencintai harta, maka ia akan menjadi ‘budak’ harta. Ia pasti akan menghabiskan hari-harinya demi memenuhi ambisi hartanya. Sebaliknya, pasti dalam pribadi orang ini, tidak ada ruang untuk Allah Swt. karena semua ruang hidupnya diisi sepenuhnya dengan ambisi keduniaan semata.
Untuk menjadikan muslim yang tidak mencintai berlebihan pada harta kekayannya, Allah memberikan catatan penting dalam al-Qur’an. “Lan tanalull birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun. (QS. Ali Imron: 92). Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebajikan hingga kalian infakkan apa yang kalian cintai”. Sebelum orang terlanjur cinta pada harta dan kekayaan dunia, maka Allah memerintahkan muslim untuk menginfakkan sesuatu yang dicintainya. Rumah yang mewah adalah harta yang dicintai. Makanan yang enak adalah sesuatu yang dicintai. Baju baru yang indah adalah barang yang dicintai. Batu akik kesenangannya adalah sesuatu yang dicintai. Dan sesuatu lain yang dicintainya.
Last but least, puasa menjadikan muslim pribadi yang tidak mencinta dunia. Ia justru menjadikan harta kekayaan dan dunia yang dimilikinya yang ia miliki sebagai bridge (jembatan) untuk menuju akhiratnya. Caranya, dengan berderma, berderma dan berderma sesuatu yang dicintainya pada sesama manusia. Sekali lagi—karena yang demikian ini adalah salah satu bukti kecintaan mukmin pada Tuhan-Nya, (Allah Swt), dan bukan pada selain-Nya.
Wallahu’alam. **