Puasa, Madrasah Pembentuk Perilaku Kedermawanan
Opini | Senin, 19 April 2021 | 12:22 WIB“Dan sebagian manusia itu ada yang membuat tandingan pada selain Allah. Mereka mencintai tandingan ini sebagaimana mencintai Allah. Orang-orang yang beriman itu lebih sangat dalam mencintai Allah…”. (QS. al-Baqarah: 165).
Apa kaitan ayat di atas dengan ibadah puasa? Puasa dan soal kecintaan pada Allah Swt. adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam pribadi seorang mukmin. Bagi seorang mukmin, puasa akan lebih mengokohkan kecintaannya pada Allah Swt, Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Ayat ini juga menegaskan bahwa seorang mukmin tidak akan memilih ‘tandingan Allah’ (andadan) Swt. Menurut Quraish Shihab (2017), tandingan Allah itu bisa berarti berhala, bintang, manusia maupun pemimpin-pemimpin mereka. Dalam konteks manusia, ‘tandingan Allah’ itu bila didetailkan bisa berupa kekayaan, pangkat, jabatan, ataupun kedudukan yang menggiurkan. Seorang mukmin akan fokus mencintai Allah tanpa batas tempat dan waktu. Salah satu bentuk kecintaan pada-Nya adalah dengan berderma pada sesama manusia, sebagaimana perintah Allah Swt.
Bulan Ramadlan, oleh karenanya, juga disebut sebagai bulan kedermawanan. Mengapa? Karena pada bulan ini, seorang muslim dianjurkan untuk berbanyak-banyak melakukan kedermawanan. Misalnya, dengan memberikan makan pada saat berbuka puasa. “Barang siapa memberi makanan buka puasa, maka ia akan mendapatkan pahala yang serupa tanpa megurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Pada bulan puasa juga dianjurkan banyak bersedekah. Jika pada bulan selain Ramadlan sedekah sudah dianjurkan, maka pada bulan Ramadlan sedekah lebih sangat dianjurkan lagi. Berbeda dengan zakat, anjuran bersedekah sebagai bentuk kebajikan seseorang bersifat longgar tanpa ketentuan jumlah, bentuk maupun waktu tertentu. Artinya, sedekah adalah ibadah yang ketentuannya bersifat longgar jika dibandingkan dengan zakat.
Termasuk bersedekah di bulan Ramadlan adalah memberi makan orang miskin. Orang miskin adalah kelompok masyarakat yang tercecer dari mobilitas sosial sehingga perlu dibantu. Islam memberi perhatian penuh pada orang miskin, sebagaimana firman Allah Swt.: “Tangkap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta ! Mengapa mereka dihukum dan disiksa dengan terang-terangan itu? Oleh karena mereka ingkar pada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin”. (QS. al-Haqqah: 30-34).
Perhatian Islam yang besar pada orang miskin mendorong Abu Darda untuk meminta pada istrinya: “Istriku, Allah mempunyai rantai besi yang selalu menyala membakar periuk neraka sejak ada sampai kiamat nanti. Kita telah bebas dari ancaman separuh neraka itu karena iman kita. Sekarang bebaskanlah diri kita dari ancaman sepatuh lagi dengan mengajak orang-orang lain memberi makan orang-orang miskin”.
Dus, pada mengakhiri puasa Ramadlan, setiap muslim diwajibkan memberikan zakat fitrah. Nabi Muhammad Saw bersabda: Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadlan bagi orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari kaum muslimin dengan memberi satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum”. (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim). Tujuan zakat fitrah agar tidak ada yang kelaparan dan kekurangan pada hari raya Idul Fitri. “Ughnuhum ‘anit thawafi fi hadzal yaum. Berilah orang fakir miskin itu kecukupan makanan pada hari raya itu (Red: Idul Fitri) sehingga mereka tidak berkeliling mencari makanan”.
Sebagai madrasah tahunan, salah satu hal utama yang juga dituju puasa adalah perilaku kedermawanan. Artinya, dalam puasa, seorang muslim dilatih untuk menjadi pribadi yang dermawan. Setelah ia bekerja keras mencari nafkah, ia dididik untuk berlapang dada memberikan hasil jerih payahnya pada sesama. Tentu, bukan hal yang mudah bagi seseorang untuk memberikan hartanya pada sesama.
Perilaku kedermawan dibentuk oleh worldview bahwa seorang muslim tidak boleh mencintai harta kekayaannya melebihi cintanya pada Allah Swt. Seperti kata Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam, bahwa kecintaan pada sesuatu akan membuat pecinta menjadi budaknya. Sementara, Allah ingin agar manusia menjadi hamba Allah semata, bukan ‘budak’ sesuatu tersebut. Logikanya, jika orang mencintai harta, maka ia akan menjadi ‘budak’ harta. Ia pasti akan menghabiskan hari-harinya demi memenuhi ambisi hartanya. Sebaliknya, pasti dalam pribadi orang ini, tidak ada ruang untuk Allah Swt. karena semua ruang hidupnya diisi sepenuhnya dengan ambisi keduniaan semata.
Untuk menjadikan muslim yang tidak mencintai berlebihan pada harta kekayannya, Allah memberikan catatan penting dalam al-Qur’an. “Lan tanalull birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun. (QS. Ali Imron: 92). Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebajikan hingga kalian infakkan apa yang kalian cintai”. Sebelum orang terlanjur cinta pada harta dan kekayaan dunia, maka Allah memerintahkan muslim untuk menginfakkan sesuatu yang dicintainya. Rumah yang mewah adalah harta yang dicintai. Makanan yang enak adalah sesuatu yang dicintai. Baju baru yang indah adalah barang yang dicintai. Batu akik kesenangannya adalah sesuatu yang dicintai. Dan sesuatu lain yang dicintainya.
Last but least, puasa menjadikan muslim pribadi yang tidak mencinta dunia. Ia justru menjadikan harta kekayaan dan dunia yang dimilikinya yang ia miliki sebagai bridge (jembatan) untuk menuju akhiratnya. Caranya, dengan berderma, berderma dan berderma sesuatu yang dicintainya pada sesama manusia. Sekali lagi—karena yang demikian ini adalah salah satu bukti kecintaan mukmin pada Tuhan-Nya, (Allah Swt), dan bukan pada selain-Nya.
Wallahu’alam. **