Bulan Ramadan, Berdamai dengan Perbedaan

Opini | Senin, 3 April 2023 | 10:58 WIB
Fauzi Palestin, Sekretaris MUI Jawa Timur (Sumber: Dok. Istimewa)

KompasTV Jawa Timur - Kalau diibaratkan seperti tamu, bulan ramadhan merupakan tamu istimewa dengan membawa kebaikan, keberkahan,  kebahagiaan, dan pembelajaran. Tak berlebihan jika dua bulan sebelum ramadhan tiba Nabi ajarkan untaian harapan :" Allahumma barik lana fii rajaba wa sya'bana wa ballighna Ramadhan(Ya Allah berkahilah kami dibulan rajab dan sya'ban serta sampaikanlah kami untuk mengarungi kehidupan di bulan suci Ramadhan). Untaian harapan itu begitu populer dikalangan masyarakat mulai dari perkotaan hingga pedesaan.

Dalam tataran syariat, posisi puasa dibulan suci ramadhan sebagai bagian dari rukun islam sudah menjadi keyakinan bersama yang tak perlu dipertanyakan. Namun, ada banyak instrument ritual dan pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan ramadhan selalu diwarnai perbedaan-perbedaan. Sebutlah antara NU dan muhammadiah yang berbeda konsep delam mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadhan, jumlah rakaat tarawih, penggunaan bilal tarawih, dan perbebadaan-perbedaan lain yang bersifat Furuiyyah.

Kalo kita melihat praktik dilapangan lebih ditail, kita akan menjumpai   adanya komparasi perbedaan, itu menarik untuk kita potret sebagai pembelajaran.

Di masjid Al akbar misalnya, kita akan melihat sebuah praktik shalat tarawih yang menampung dua kebiasaan masyarakat.  Para jamaah yang kebiasaan shalat tarawihnya 8 rokaat geser kebelakang setelah menyelesaikan 8 rokaat. Sementara jamaah yang terbiasa dengan 20 rokaat terus melanjutkan hingga dua puluh rokaat. Plus shalat witir.

Ditempat yang lain, ada praktik perpaduan yang tak kalah menarik. Seperti pelaksanaan shalat tarawih 8 rakaat dan witir 3 rokaat dengan satu kali salam. Biasanya, praktik trawih seperti ini model senyap. Tanpa bilal. Namun, ada banyak masjid yang jumlah rakaat tarawihnya 8 rokaat dan disertai dengan bilal. Bacaan suratnya memakai at takatsur sebagaimana jamaah tarawih 20 rokaat.

Sepintas lucu dan menggemaskan. Bagi orang tertentu, hal seperti itu merupakan inkonsistensi dalam sebuah praktik keagamaan.

Diakui atau tidak, praktik di atas seakan menjadi rool model tersendiri bagi masyarakat metropolitan yang hetrogen. Sejauh ini, berdasarkan tinjauan penulis, belum ditemui kemudharatan subtantansial ditengah-tengah masyarakat.

1
2

TERBARU