Bulan Ramadan, Berdamai dengan Perbedaan
Opini | Senin, 3 April 2023 | 10:58 WIBDari sisi tinjauan hukum islam, praktek di atas bukan termasuk mencampur aduk ibadah(talfiq) yang menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama yang memperbolehkan seperti kamal ibnu hamam, ad dasuki, ibnu amir dsb.
jika menoleh terhadap madzhab-madzhab terdahulu, satu
dengan yang lain terdapat berbagai perbedaan pandangan. Hal itu disebabkan(antara) karna mereka di hadapkan pada situasi yang berbeda. Padahal, sumbernya sama, yaitu al-Quran dan al-hadits.
Dari faktor kebutuhan psikologis manusia , perbedaan bermadzhab itu seakan menjadi solusi dalam menjalankan kreasi praktik keagaamaan, Tanpa menyalahi aturan baku(mujma'alaih) yang sudah menjadi ketetapan. Dari sini, islam selalu hadir seiring dengan perkembangan zaman(shalihun likulli zaman wal makan).
Perbedaan furuiyyah itu jika dikelola dengan baik akan menjadi khazanah, pertumbuhan intelektual, dan tentunya harmoni sosial. Satu dengan yang lain tidak lagi berebutan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Semua bermuara pada maqashid syariah yang sama yakni beribadah kepada Allah(hifdzud din).
Dari penghambaan secara vertikal, lalu naik menjadi penghambaan khorizontal. Artinya, potret ibadah yang bersifat kolaboratif di metropolitan di atas, dapat mengedukasi ummat islam tentang pentingnya menjaga keutuhan bersama dalam konteks bergama, berbangsa, dan bernegara. Berbeda, tapi tetap bersama untuk kemajuan bersama. Dengan parameter beragama yang jelas, Tanpa ada saling menyulutkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.
Selain keberkahan, Tamu ramadhan ini juga membawa perbedaan-perbedaan. Seyogyanya, bukan menjadi sebab terjadinya kerenggangan karna beda Praktek keagamaan yang bersifat furuiyyah. Perbedaan merupakan keniscayaan. Kepada bulan suci ramadahan, kita belajar untuk senantiasa berdamai dengan perbedaan.
Oleh: Fauzi Palestin, Sekretaris MUI Jawa Timur.