Ramadan, Substansi Pendidikan, Digitalisasi dan Merdeka Belajar
Opini | Minggu, 9 April 2023 | 14:49 WIBKompasTV Jawa Timur - Pada era digital saat ini, proses pendidikan lebih dominan memanfaatkan teknologi informasi dalam berbagai variannya, tanpa disadari transformasi nilai dan keteladanan (uswatun hasanah) tidak tersentuh secara maksimal, padahal tujuan pendidikan nasional pada dimensi spiritual menekankan pada terbentuknya keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, selain cerdas, tanggung jawab, dan seterusnya.
Kalau direnungkan secara mendalam terdapat titik temu antara tujuan pendidikan nasional dan tujuan puasa di bulan suci Ramadan, yaitu menjadi pribadi bertakwa (QS. Albaqarah:183), hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan nasional dan tujuan berpuasa berada dalam satu tarikan nafas pada dimensi spiritual. Dengan demikian secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa substansi pendidikan di Indonesia yang utama dan pertama adalah terbentuknya pribadi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia di samping tujuan lainnya.
Paradigma ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan nasional memiliki akar kuat dan landasan teoritik berdasarkan alquran, khususnya berkaitan dengan tujuan puasa di bulan suci Ramadan. Titik temu dalam hal tujuan pendidikan nasional dan tujuan puasa ini memiliki konsekuensi logis bahwa pendidikan tidak boleh lepas dari dimensi spiritual, karena pada aspek inilah sesungguhnya proses pendidikan akan menghasilkan orang-orang yang benar, jujur, amanah, tanggung jawab, dan ikhlas, inilah yang dimaksud substansi pendidikan. Pendidikan bukan sekedar menghasilkan orang-orang cerdas, kompeten, terampil, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, akan tetapi penting memiliki dimensi spiritualitas agar kelak menjadi anggota masyarakat atau warga negara yang baik (good citizen), khususnya ketika menjadi pemimpin. Oleh karena itu di sinilah pentingnya integrasi antara iman dan takwa (IMTAK) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Secara teoritik, konsep pendidikan berasal dari beberapa terminologi, di antaranya ta’dib, tarbiyah, dan taklim, masing-masing terminologi tersebut memiliki penekanan yang berbeda walaupun semuanya saling-melengkapi. Menurut Prof. Naquib Al-Attas seorang ahli pendidikan, ta’dib berasal dari kata addaba berarti mendidik, memperbaiki. Ta’dib berorientasi pada pembentukan akhlak atau karakter. Menurut An-Nahlawi, istilah tarbiyah berasal dari kata rabba-yarubbu berarti memelihara fitrah dan menumbuhkan bakat dan minat anak didik secara terus-menerus. Tarbiyah berorientasi pada pendidikan berkelanjutan dan sepanjang masa (live long education). Sedangkan taklim berarti mengajar, menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge), berorientasi pada transformasi ilmu (QS. Al-Baqarah:31).
Dalam konteks interaksi antara pendidik dan anak didik pada proses pendidikan dan pembelajaran, menurut Imam Az-Zarnuji seorang pengarang kitab yang berjudul Ta’limul-Muta’allim, diperlukan bimbingan dan petunjuk dari pendidik secara langsung (Irsyadu Ustadzin), dalam istilah pesantren disebut ijazah (pemberian) kiai kepada santri, baik berupa ilmu maupun amal, yang disertai doa, dan ini diyakini mengandung keberkahan yang luar biasa, karena ada koneksi psikologis dan sosiologis secara baik.
Dalam praktekknya untuk bisa mewujudkan kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, cerdas, terampil, dan seterusnya sebagaimana tujuan pendidikan nasional, ketiga terminologi tersebut membutuhkan ikatan psikologis dan sosiologis antara pendidik dan anak didik agar menghasilkan pribadi anak didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Pada konteks pendidikan formal, baik di sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi di era digital saat ini, substansi pendidikan ini menjadi hal yang sangat penting untuk terus diupayakan di tengah platform digitalisasi proses pendidikan dan pembelajaran. Pertanyaan besarnya bagaimana ilmu dan keteladanan bisa terinternalisasi dengan baik apabila secara psikologis dan sosiologis tidak terjalin ikatan yang kuat antara pendidik dan anak didik.
Oleh karena itu sekalipun pemanfaatan teknologi informasi menjadi keniscayaan dalam proses pendidikan dan pembelajaran pada era revolusi industri 4.0 saat ini, masih sangat penting dan diperlukan jalinan ikatan emosional dan sosial antara pendidik dan anak didik, kebutuhannya tidak hanya didasarkan pada materi teori dan praktek, akan tetapi didasarkan pada kebutuhan pentingnya sebuah interaksi langsung antara pendidik dan anak didik agar terjalin ikatan psikologis dan sosiologis, walaupun tidak secara keseluruhan dalam program pendidikan yang direncanakan. Dalam konteks ini sangat baik apa yang disampaikan oleh Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro (2023) dalam sebuah orasi ilmiah, menurutnya pendidikan dalam prakteknya tidak bisa hanya disampaikan secara online atau digital saja karena dalam pendidikan ada proses penanaman sikap dan keteladanan, dan itu membutuhkan interaksi secara langsung antara pendidik dan anak didik.
Di tengah digitalisasi pendidikan saat ini, substansi pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas tetap harus dijaga dengan baik, konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara juga sangat penting direfleksikan terkait kemerdekaan belajar dalam konteks kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Lebih lanjut menurutnya jadikanlah anak didik sebagai manusia merdeka. Secara spesifik merdeka belajar menunjukkan bahwa anak didik menjadi manusia merdeka dalam menentukan belajar dalam berbagai aspeknya dengan tetap dalam bimbingan guru, yang dalam konteks kebijakan pendidikan saat ini dikenal dengan MBKM atau Kurikulum Merdeka.
Menjadikan pendidik yang merdeka tidak berarti bebas melakukan apa saja, kesadaran yang perlu ditumbuhkan kepada pendidik adalah bahwa mendidik adalah amanah atau kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, dan di dalam amanah tersebut ada hak anak didik mendapatkan transformasi keteladanan, ilmu, pengalaman, dan nilai-nilai luhur.
Wallahu A’lam Bisshawab.
Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jatim & Direktur LPPM Universitas Negeri Surabaya (UNESA)