Diet Intermiten
Mark P. Mattson, profesor ahli saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins menjelaskan, bahwa hati (liver) menyimpan glukosa, yang digunakan oleh tubuh utamanya otak, untuk energi, sebelum berubah menjadi pembakaran lemak tubuh. Dibutuhkan 10 hingga 12 jam untuk menghabiskan kalori di hati sebelum terjadi pergeseran metabolisme untuk menggunakan lemak yang tersimpan sebagai energi. Setelah makan, glukosa digunakan untuk energi dan kelebihannya akan disimpan di hati sedang unsur lemak disimpan di jaringan lemak. Tetapi selama puasa, begitu glukosa habis, maka timbunan lemak dipecah dan digunakan untuk energi meski dengan kecepatan metabolismenya melambat.
Orang yang berupaya menurunkan berat badan harus berjuang agar selama 16 jam bebas kalori. Tetapi Mattson yang telah mempelajari dampak kesehatan dari puasa intermiten (berselang-seling) selama 25 tahun, manyarankan cara yang lebih mudah, yaitu dengan berhenti makan pada jam 7 malam, dilanjutkan dengan tidak sarapan esoknya, dan baru makan pada jam 11 menjelang siang. Inilah yang disebut metoda diet 7:11, seperti ditulis di The New England Journal of Medicine. Singkat kata, pola ini berbentuk makan dengan waktu terbatas setiap hari, dengan mempersempit waktu makan menjadi 8 jam per harinya.
Ada juga versi penelitian lainnya, yang menilai efek puasa intermiten pada manusia, berdasarkan dari riset pada hewan coba. Misalnya, percobaan pada hewan yang mengalami stroke, yang diberi makan hanya sebentar-sebentar ternyata kerusakan otaknya lebih ringan, karena lebih mampu menahan stres akibat kekurangan oksigen dan energi. Ada juga beberapa penelitian lain dengan objek hewan, yang menunjukkan manfaat puasa intermiten pada berbagai gangguan kronis, termasuk sindrom metabolik (seperti: obesitas, gangguan lipid, pre-hipertensi), diabetes, penyakit kardiovaskular, kanker, dan suatu penyakit degeneratif.
Berbagai penelitian pada hewan dan manusia tentang puasa intermiten, menunjukkan peningkatan beberapa indikator kesehatan, dan memperlambat proses penuaan dan penyakit. Penelitian puasa intermiten pada manusia, menunjukkan terjadinya perbaikan indikator penyakit seperti efek penurunan tekanan darah, kadar lemak darah, detak jantung istirahat, resistensi insulin, dan peradangan. Pada pasien dengan multiple sclerosis atau penyakit kronis dalam sistem syaraf pusat, puasa intermiten bisa menurunkan berat badan secara aman bahkan dapat dikaitkan dengan peningkatan kesehatan emosionalnya hanya dalam dua bulan, seperti dilaporkan Kathryn dan tim penelitinya di Baltimore, 2018.
Saat kita berpuasa, tubuh menghasilkan sedikit protein baru, mendorong sel untuk mengambil protein dari sumber yang tidak penting, memecahnya dan menggunakan asam amino untuk membuat protein baru untuk kelangsungan hidup. Kemudian setelah berbuka makan, protein baru banyak diproduksi di otak dan di tempat lain. Itulah salah satu dampak positif dari puasa, sel menjadi terlatih beradaptasi dengan lingkungannya.
Ketika lemak digunakan untuk energi, akan dihasilkan zat yang disebut badan keton, yang mengatur ekspresi dan aktivitas protein dan molekul yang mempengaruhi kesehatan dan penuaan. Efek ini terpotret oleh para ahli hingga penumpukan keton asam dalam darah (ketosis), justru menjadi target yang ingin dicapai oleh diet Atkins, diet ketogenik, dan diet pembatasan karbohidrat lainnya. Namun, jika diambil secara ekstrem, ketosis dapat merusak hati, ginjal dan otak, dan sangat berbahaya bagi penderita berbagai gangguan kronis seperti diabetes dan penyakit jantung. Maka dari itu pola diet demikian harus langsung dalam pengawasan dokter yang berkompeten, agar tidak terjadian kejadian yang tidak di inginkan seperti di antaranya gagal ginjal, koma atau serangan jantung.
Sehat asal “Imsak”
Editor : Finsa Firmansyah