PANDEMI akeh cerito rek. Banyak kisah yang dapat diungkapkan dari ranah keluarga sampai negara. Situasinya menyajikan ringkasan hidup yang bersih diri, jaga jarak, krasan di rumah. Inilah wejangannya bahwa setiap waktu ada saatnya dan setiap saat menyajikan waktu. Di bulan inilah pewahyuan Alquran dihelat sebagai “dekrit teologis” yang merombak secara asasi status manusia bergelar Al-Amin yang semula dikenal sebagai Muhammad bin Abdullah, berubah menjadi Baginda Muhammad Rasulullah SAW. Ini merupakan peristiwa besar yang berasal dari ungkapan suci yang kini tertera dalam Alquran, Surat Al-alaq, ayat 1-5 yang maknanya sudah banyak dihafal: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Peristiwa kerasulan Muhammad SAW merupakan “proklamasi peradaban” yang spektakuler. Konstruksi sosial yang total dari kejahiliaan, niradab, menuju era peradaban mulia. Pengaruhnya sangat luas, sehingga Rasulullah SAW menurut para ahli yang berkelas internasional, adalah sosok agung yang paling berpengaruh dalam sejarah. Tidak ada manusia, nabi dan rasul yang tingkat pengaruhnya melebihi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Pada spektrum itu, Islam menjadi agama paripurna sebagaimana dapat dibaca dalam Alquran.
Kesempurnaan ajaran Islam dapat dirunut mulai mengatur aspek yang sangat sederhana selaksa urusan cuci tangan sampai pada yang amat kompleks mengenai tatanan bernegara. Islam hadir dengan ajaran yang memberikan sesi “jeda” untuk berintrospeksi melalui mekanisme puasa Ramadhan. Puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum-kaum terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW diritualkan kembali dengan capaian akhir berupa “derajat takwa yang suprematif”. Inilah tingkat ketaatan kepada seluruh regulasi Tuhan dalam segala segi kehidupan sebagai penanda bahwa manusia tidak imun dari intervensi Tuhan.
Saatnya Mendialogkan Diri
Ramadhan menjadi sesi pembelajaran yang dipancangkan dari sebuah pegunungan. Terdapat tanda-tanda sepermulaan bahwa gunung sejatinya bukan sekadar gumpalan tanah melainkan kristalisasi nilai yang memadatkan materi untuk menjadi paku bumi. Gunung-gunung itu memanglah peneguh bumi. Gunung itu peredam guncangan sekaligus pembuncah kesuburan, karena dari erupsinya, bumi memanen larva bagi kehayatan tetumbuhannya. Dengannya itulah sumber pangan tersedia dan seluruh umat manusia maupun flora-fauna dengan segala jenis primata mampu menjalankan peran kehayatannya.
Gunung itu menyimpan misteri sekaligus kekayaan inspiratif membangun sejarah. Gunung merupakan makhluk yang pernah ditawari menjadi “khalifah” untuk memakmurkan bumi bersama dengan hamba-hamba lain sebelum Allah SWT menciptakan manusia. Semua menjawab penuh santun tentang “ketidaksanggupannya” menjadi khalifah fil ard, pemimpin di dunia. Namun rekam jejak historisnya, ternyata gunung diikutsertakan Tuhan dalam mendesain peradaban mulia (akhlakul karimah). Saya menafsir hal ini karena sikap santunnya gunung-gunung itu saat “menghindari mandat berat” dari Allah SWT, hingga gunung tetap terlibat prosesi pembangunan laku yang karim di bumi.
Salah satu gunung yang darinyalah perubahan peradaban yang penuh keagungan itu dikonstruksi Tuhan adalah Jabal Nur, Gunung Cahaya, gunung yang berjarak sekitar 2 mil saja dari Makkah. Gunung ini tampak seperlemparan pandang terlihat sederhana, tetapi sangat memukau bagi yang jeli menelisik dengan mata sukmanya. Di puncak Jabal Nur inilah ada tebing dalam lereng yang sulit diraih yang menyediakan “ruang pewahyuan”: Gua Hira. Sebuah gua yang sempit dan jauh dari tingkat kenyamanan kamar-kamar kaum modernis, apalagi dibandingkan dengan room hotel berbintang. Gua Hira hanya berukuran: panjang 1,8 meter dan lebar 0,8 meter. Di sinilah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendapatkan gelar Al-Amin (jujur-terpercaya) dari bangsanya itu “menyatukan diri bersama alam”.
Beliau menempuh jelajah hening, ruang sunyi, sisi tepi, dan pusat energi yang imun dari gemerlap duniawi. Setarikan nafas dapat engkau imajinasikan dengan “berdiam diri di rumah kala pandemi ini”. Menyendirikan jiwa-raganya untuk menemukan kesejatian, me-nyuwung-kan jasad memendarkan ruhani menyapa Illahi dengan gerakan uzla, topo, memes rogo lan roso, bertahannuts, berkhalwat, bermeditasi mendialogkan diri kepada Yang Maha Tinggi. Langkah ini ditempuh mengingat di luaran Gua Hira terjadi tragedi kehidupan yang mengerikan. Manusia kehilangan martabatnya dengan bertindak mungkar, zalim dan nista. Pembunuhan anak-anak perempuan yang baru lahir dan merendahkan derajat perempuan serta menjadikan materi (batu maupun adonan kue) sebagai sesembahan, berhala, adalah ekspresi jiwa yang sangat jahil, bodoh sebodoh-bodohnya.
Nabi Muhammad SAW terpanggil untuk mengatasi kejahiliaan jiwa ini mengingat secara fisik bangsa Quraisy amatlah maju infrastrukturnya, Makkah adalah “metropolitan”. Kota transkafila yang menguntungkan secara ekonomi. Makkah memiliki sumber daya teologis sempurna dari Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS dengan Ka’bah dan Sumur Zam-zam. Hanya saja akibat watak jahiliyah (orang cerdas tanpa hidayah) inilah yang mempertindakkan manusia menjadikan Baitullah diberi ornamen patung-patung, arca-arca yang disembah sebagai Tuhan. Selingkup kahanan yang memerihkan hati Baginda Muhammad SAW hingga Allah SWT menjawab dengan penyampaian wahyu di 17 Ramadhan, yang dalam hitungan Hijriyah, saat itu “deklarasi utusan Tuhan”: Rasulullah Muhammad SAW dalam usai 40 tahun, 6 bulan 12 hari “dilantik” dengan skema pewahyuan Alquran Surat Al-Alaq ayat 1-5 yang amat populer.
Ornamen Ramadhan
Pada lingkup itulah Allah SWT tidak membiarkan Ramadhan tanpa ornamen yang mengesankan dalam menarik hati hamba-hamnya yang beriman. Puasa sendiri adalah periodesasi spesial yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan atas itulah Tuhan menyediakan bonus yang supermewah berupa malam lailatul qodar. Tadarus Alquran semoga sudah sampai pada Surat Al-Qodr, ayat 1-5 yang sudah biasa dingajikan: “innaaa anzalnaahu fil lailatil-qodr, wa maa adrooka maa lailatul-qodr, lailatul-qodri khorum min alfi syahr, tanazzalul-malaa’ikatu war-ruuhu fiihaa bi’izni robbihim, ming kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il-fajr (sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam qadar, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan Roh Jibril dengan izin Tuhannya, sejahteralah malam itu sampai terbit fajar)”.
Orang-orang beriman berkesempatan meraih kemuliaan yang lebih utama dari seribu bulan (83-84 tahun). Apabila angka itu dikalkulasikan dengan jumlah usia masing-masing orang, maka terdapat beratus-ratus tahun umur hamba-Nya yang “merayakan malam lailatul qodar”. Inilah tonggak optimisme untuk mendapatkan “kemuliaan hidup” pada setiap Ramadhan. Kini saya menyaksi betapa orang-orang beriman tengah memenuhi “halaman tauhidnya” sambil bersimpuh di malam keagungan. Malam-malam yang disyukuri dengan penjemputan kolektif sambil menarasikan segala pengharapan.
Editor : Luky Nur Efendi