KompasTV Jawa Timur - Dalam Al-Qur’an, tepatnya surat Al-Maidah ayat 48 disebutkan: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.”
Ayat ini memberikan pesan bahwa sejatinya, manusia terlahir dengan aneka potensi yang dimiliki. Dapat saja hal tersebut berupa ciri khas dasar yang memenang ada dan menjadi bawaan saat lahir. Terlahir sebagai laki-laki, perempuan, berambut ikal dan perbedaan lainnya merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan.
Belum lagi karakter diri yang membedakan dengan kalangan lain dari sisi watak, watuk dan wahing sehingga kita menyadari bahwa ada saudara yang tempramental. Demikian juga tidak sedikit yang menyabar, mudah tersinggung dan aneka perbedaan sifat lainnya. Sekali lagi, kondisi ini telah diingatkan Allah SWT sebagai hal yang pasti ada dan menyertai manusia satu dengan lainnya tanpa harus berupaya untuk disamakan lantaran memang kodrati.
Saat menyadari kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia, terkhusus umat Islam untuk menjadikan perbedaan sebagai potensi. Yakni beragam perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai sarana memperkuat persaudaraan atau ukhuwah islamiyah. Tentu saja akan sangat mustahil dalam keseharian kita mencari sahabat, rekan bisnis, teman kuliah, tetangga dan sejenisnya dengan mengesampingkan perbedaan. Bahkan kalau mau jujur, dengan diri sendiri kadang banyak kontradiksi yang melingkupi. Apalagi dengan melibatkan kalangan dan pihak lain.
Sadar dengan kondisi yang ada, maka tidak ada pilihan lain bagi umat Islam untuk menyadari kondisi perbedaan tersebut dan justru menjadikannya sebagai sarana memupuk persatuan atau ukhuwah. Karena, Islam adalah agama yang di dalamnya terdapat konsep persaudaraan sebagai bentuk konsep yang memberikan ajaran jika setiap orang yang bersaudara harus memiliki perhatian di antara mereka. Dengan begitu, hubungan sesama umat Islam menjadi semakin kuat.
Ukhuwah islamiyah memiliki arti persaudaraan yang bersifat keilmuan atau persaudaraan yang didasari oleh kesamaan agamanya yaitu Islam. Konsep ini memberikan pembelajaran jika setiap muslim di dunia ini merupakan saudara bagi muslim lainnya. Seorang muslim harus menganggap muslim lain sebagai saudaranya tanpa perlu memandang latar belakang keturunan, kebangsaan atau pertimbangan lain. Selain itu, juga bisa diartikan sebagai suatu ikatan akidah yang bisa menyatukan hati semua umat Islam yang ada di dunia. Meskipun ada perbedaan tanah tumpah darah yang saling berjauhan, bahasa dan bangsa yang berbeda, namun, karena hal itulah individu umat Islam senantiasa terikat antara satu sama lainnya, sehingga membentuk suatu bangunan umat yang demikian kokoh.
Tujuan dari ukhuwah islamiyah adalah agar bisa mewujudkan hubungan persaudaraan yang ditandai dengan mengharap ridha Allah SWT semata dan bebas dari segala tuntutan kebutuhan, baik itu dari segi duniawi maupun materi. Iman dan keyakinan kepada Allah SWT menjadi perekat utama dalam diri umat Islam, bukan untuk meraih suatu jabatan tertentu, mendapatkan keuntungan tertentu dalam jangkauan waktu pendek maupun dalam jangkauan waktu yang panjang pula serta bukan pula untuk mencari materi maupun hal lain. Yang justru mengemuka adalah bagaimana persamaan dalam agama dan iman ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk kian memperkokoh persaudaraan.
Ukhuwah Islamiyah akan menjadi sebuah ikatan di kalangan umat Islam, sehingga umat Islam menjadi kuat. Demikian pula hal tersebut merupakan modal untuk melakukan pergaulan sosial sesama umat Islam. Dengan modal ini, maka perbedaan yang tidak prinsip antarumat Islam tidak perlu menjadi perpecahan. Prinsip ukhuwah menjadikan hubungan antarsesama umat Islam menjadi harmonis dan mampu menjadi kekuatan besar untuk bersama membumikan nilai Islam. Ukhuwah islamiyah menjadi ikatan tidak saja secara emosional, namun juga secara sprititual.
Semangat untuk mengingatkan kembali pentingnya menjaga ukhuwah ismaliyah semakin menemukan momentumnya di tengah zaman yang sudah didominasi oleh sikap radikal dan agresif meski itu dalam bidang agama dan keyakinan. Peristiwa saling menyerang dan merugikan dalam internal agama meski berbeda paham sudah sangat sering dijumpai di negeri ini, negeri yang katanya paling religius dan memiliki norma paling halus di antara negeri lain. Hanya karena berbeda penafsiran dari ayat Al Qur’an dan hadits, tak jarang suatu kelompok menjelek-jelekkan kelompok lain, bahkan sampai keluar kata “kafir dan sesat”. Tidak hanya sampai itu, kebencian terhadap kelompok lain yang sejatinya masih seagama itu juga disebarkan ke kalangan awam. Terlebih lagi kebencian terhadap kalangan agama lain, yang sering kali disertai argumentasi yang berasal dari fantasi sendiri sehingga menjadi bumbu penyedap yang pada akhirnya virus kebencian tersebut menyebar.
Dengan penduduk 90 persen beragama Islam, sudah selayaknya disikapi dengan bijak, terlebih lagi Islam adalah agama yang tidak sekadar membuat pengikutnya selamat di akhirat, tetapi juga di dunia. Islam berasal dari kata “salimu” yang artinya selamat, bahkan Nabi Muhammad SAW mempertegas orang tidak dikatakan beragama Islam jika orang yang berada di sekitarnya belum selamat dari mulut, tangan, dan sikapnya. Pemaknaan ini yang juga mempertegas bahwa Islam adalah rahmat untuk seluruh alam.
Dengan demikiam, ukhuwah islamiyah seharusnya menjadi spirit baru dalam kehidupan beragama, sehingga agama menjadi sebuah institusi yang menyejukkan, bukan institusi yang menebar virus kebencian. Di satu sisi, keteguhan dalam memegang prinsip dan tafsir yang diyakini adalah penting, tetapi di sisi lain, keteguhan tersebut tidak menjadi kebenaran ketika disertai dengan sikap memaksa, mengafirkan, menyesatkan, dan menyebarkan kebencian. Pada taraf inilah, ukhuwah atau persaudaraan dengan orang Islam tidak menjadi ukhuwah islamiyah, ketika disertai dengan sikap saling merugikan dan mendhalimi. Tetapi, ketika persaudaraan dengan orang lain meskipun berbeda keyakinan, pada saat itu juga persaudaraan itu menjadi ukhuwah islamiyah.
Implementasi dari ukhuwah islamiyah ini memang harus benar-benar ditegakkan. Ditegakkan bukan sekadar simbol dan semboyan. Tetapi juga harus berusaha diinternalisasikan kepada seluruh orang Islam. Seringkali kali kita masih menemui kondisi yang tidak mencerminkan ukhuwah islamiyah meskipun sesama orang Islam sendiri. Padahal, seluruh pimpinan ormas Islam di Indonesia mencontohkan kerukunan dan persaudaraan yang tinggi, misalkan antara para pengurus di Nahdlatyul Ulama dan Muhammadiyah. Pada taraf ini, persaudaraan sudah terjalin dengan baik. Namun, satu hal yang tertinggal, bahwa internalisasi nilai ukhuwah islamiyah tersebut juga harus sampai pada tingkat akar rumput, misalkan tingkat desa. Hal yang seringkali terjadi adalah pada tingkat atas sudah dapat mengimplementasikan ukhuwah islamiyah dengan baik sedangkan pada tingka akar rumput belum mampu melaksanakannya. Kondisi ini harus menjadi perhatian khusus. Selain itu, bagaimana ukhuwah islamiyah ini bisa terimplementasikan dengan baik tidak hanya ketika bertemu dengan orang yang berlainan pemahaman, tetapi juga ketika tidak bertemu sekalipun. Pada konteks eksternal, ukhuwah Islamiyah inter keyakinan dan agama ini juga masih harus ditingkatkan demi kemaslahatan.
Ukhuwah islamiyah akan merepresentasikan bahwa agama adalah institusi yang menyelamatkan dan menyejukkan. Pada akhirnya kerukunan dan persaudaraan pada agama Islam pada khususnya dan Indonesia pada umumnya akan menjadi kuat dan kokoh. Dengan ukhuwah, umat akan terberdayakan. Dengan ukhuwah, umat akan mencapai kemaslahatan.
Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad SAW mengingatkan: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR Muslim). Orang mukmin bagaikan satu tubuh utuh yang kalau sakit salah satu organnya, yang lain pun merasa sakit. Kaki terluka akan menyebabkan tubuh meriang dan kepala pusing. Bila saudara menderita kesulitan, maka yang lainnya juga merasakannya. Itulah makna persaudaraan yang sesungguhnya. Islam mendorong umatnya untuk menerjemahkan ikatan tali persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaikan sebuah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Suka-duka dilalui bersama. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Sikap saling memiliki merupakan sikap persaudaraan sejati.
Betapa indahnya, Islam menuntun manusia dalam merajut tali persaudaraan. Untuk menerapkannya, tentu tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Biar pun rambut sama hitamnya, tetapi rasa persaudaraan memang berlainan. Bowlby dengan attachment theory-nya menjelaskan bahwa kelekatan persaudaraan yang kuat akan memberikan sumbangan dalam kesuksesan perkembangan sosial dan penyesuaian diri yang sehat. Sebaliknya, konflik persaudaraan mendatangkan kerugian yang tak terelakkan. Hubungan persaudaraan mengahruskan adanya kehangatan (warmth) yang ditandai dengan kedekatan, kasih sayang, kekaguman, dukungan moril-materil, penerimaan dan pengetahuan akan pentingnya persaudaraan. Sebaliknya, konflik yang terjadi, biasanya ditandai dengan adanya pertengkaran, kompetisi, dominasi, serta persaingan dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Sungguh ajaran Islam telah menanamkan benih persaudaraan yang dapat menghasilkan manfaat yang dahsyat, baik duniawi maupun ukhrawi. Keimanan seseorang diukur dengan pembuktian sejauh mana seorang mukmin bisa mencintai saudaranya. Hal ini dipertegas Rasulullah SAW: Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Persaudaraan yang kuat akan mendatang persatuan dan kesatuan bangsa. Pun juga ukhuwah islamiyah yang kokoh akan mendatangkan peradaban dan kemajuan umat Islam di dunia. Rasulullah bersabda: Penjagaan Allah berada di atas kebersamaan. (HR at-Tirmidzi).
Kesempatan memperkokoh dan memastikan ukhuwah islamiyah tersebut telah ada di depan mata. Yakni dapat dilakukan dengan menggunakan Ramadhan sebagai pemantik utamanya. Artinya, bagaimana kesempatan ditenpa oleh Ramadhan dapat benar-benar menumbuhkan kesadaran kolektif umat akan pentingnya merawat ukhuwah tersebut. Dengan demikian, seharusnya waktu yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai madrasah bagi penempaan diri. Ramadhan dapat menjadi garansi bagi terjaganya spirit ukhuwah islamiyah tersebut. Wallahi a’lam.
Oleh: Drs. H. Moh. Ersyad, M.HI, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Jatim.
Editor : Luky Nur Efendi