Kompas TV kolom opini

Puasa Ramadan, Barokah dan Kesehatan

Jumat, 31 Maret 2023 | 09:25 WIB
puasa-ramadan-barokah-dan-kesehatan
Djoko Santoso, Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga, Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim (Sumber: Dok. Istimewa )

Puasa sendiri dalam bahasa Inggris diartikan sebagai fasting atau kelaparan yang merupakan kondisi kekurangan gizi. Memang, kelaparan dalam kondisi  kronis, misal hanya menerima asupan dibawah 100 kKal per hari dan dalam jangka waktu yang sangat lama, bisa berakibat fatal. Tapi puasa bukanlah seperti itu. Puasa Ramadan atau puasa lainnya, adalah memberhentikan asupan makanan-minuman ke tubuh selama periode waktu tertentu, ada jeda waktu yang panjang  (dari subuh hingga magrib), agar mendapatkan beberapa proses katabolisme yang terkendali. Ini juga berbeda dengan diet, yang merupakan pengurangan asupan kalori hingga jumlah tertentu, misal maksimal hanya 30% dari biasanya, tetapi frekuensi makannya tetap dipertahankan dan tidak ada jeda waktu makan yang ketat.

Beberapa riset pada hewan percobaan dan manusia  menunjukkan, puasa memberi beberapa manfaat, diantaranya bisa meningkatkan fungsi otak, meningkatkan sintesis sel saraf, melindungi dari kondisi neurodegeneratif seperti penyakit alzheimer dan parkinson, dan menunda proses penuaan. Di dunia kedokteran, puasa juga dikenal untuk tujuan diagnostik. Misalnya berpuasa menjelang tes darah, agar hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang lebih akurat. Asupan nutrisi sesaat bisa mengacaukan pengukuran, kadar gula darah atau kadar kolesterol trigliserida bisa terdeteksi tinggi. Padahal itu dikarenakan  sinyal positif palsu atau tidak akurat yang disebabkan masuknya nutrisi sesaat. Itulah sebabnya, sebelum melakukan test darah, kita disarankan untuk berpuasa selama 9-10 jam.

Selain itu,  berpuasa juga ditujukan untuk tindakan medis seperti operasi atau pembedahan. Puasanya di sini dimaksudkan untuk menghindari masuknya makanan ke saluran napas. Untuk diketahui, pada operasi dengan pembiusan total, maka gerakan di saluran pencernaan akan berhenti/lumpuh karena efek dari pembiusan. Agar tidak terjadi aspirasi (masuknya makanan ke saluran napas), maka isi perut harus dikosongkan dengan berpuasa dahulu, atau dengan urus-urus. 

Peran Biologis Puasa

 Secara biologis manusia membutuhkan asupan nutrisi untuk mempertahankan tubuh agar berlangsung normal dalam beradaptasi dengan lingkungannya dan terhindar dari penyakit. Ini menjadi bagian dari perilaku makan yang polanya berjeda 8 sampai 14 jam. Ketika pola jeda waktunya berubah menjadi 11-22 jam saat berpuasa Ramadan, maka secara alamiah tubuh akan membentuk sistem kontrol metabolis untuk menjaga aliran nutrien dan menjaga agar organ tetap  berfungsi selama berpuasa.

Saat berpuasa, tubuh otomatis akan menghemat energi, karena aktivitas yang dilakukan selama puasa berangsur berkurang. Jika durasi berpuasa diperpanjang, akan muncul gejala penurunan aktivitas fisik, sehingga meminimalkan konsumsi energi dan penurunan kecepatan metabolisme saat tubuh istirahat. Walaupun tidak ada asupan kalori protein dalam rentang tertentu, kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh bisa tetap terpenuhi selama periode berpuasa. Sebab, tubuh dilengkapi dengan sistem peringatan yang melibatkan respon saraf dan hormonal. Mekanisme ini dapat mengenali kekurangan kalori dengan rentang waktu 24 jam, dan meresponnya sebagai bentuk kompensasi tubuh melalui proses yang disebut katabolik.

Saat puasa, tubuh akan mencari cara untuk mengatasi persoalan tidak masuknya nutrisi dan mengurangi akibat kelaparan selama sehari. Dalam 24 jam pertama puasa, glukosa-asam lemak darah yang tersedia dan glikogen hati-otot akan digunakan sebagai sumber bahan bakar atau energi tubuh. Namun, jumlahnya masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk metabolisme sehari-hari saat tidak berpuasa.  Jika belum ada asupan nutrisi lagi, maka trigliserida (dari jaringan lemak) akan dipecah menjadi asam lemak dan keton, yang dipakai oleh jaringan non otak sebagai sumber energi tubuh. Otak akan memperoleh energi hanya melalui jalur yang menghasilkan glukosa. Dalam keadaan biasa, otak menggunakan 5 gram glukosa/jam sebagai sumber energi, baik puasa maupun tidak. Otak juga mampu menggunakan keton sebagai sumber energi, baik ketika bangun, tidur, ataupun ketika sedang berpikir.

Mark P Mattson, ahli saraf pada Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, memberikan menjelaskan berikut. Dalam kondisi sehari hari, hati menyimpan glukosa, yang digunakan oleh tubuh (terutama otak) sebagai energi, sebelum berubah menjadi pembakaran lemak tubuh.  Dibutuhkan 10 hingga 12 jam untuk menghabiskan kalori di hati, sebelum terjadi pergeseran metabolisme untuk menggunakan lemak yang tersimpan sebagai energi. Setelah makan, maka glukosa akan digunakan untuk energi,  dan sisa kelebihannya akan di simpan di hati, sedang unsur lemaknya akan disimpan di jaringan lemak. Tetapi selama berpuasa, begitu glukosa habis digunakan sebegai energi, maka timbunan lemak akan dipecah dan digunakan sebagai energi meskipun dengan kecepatan metabolisme yang lebih  lambat. 

Editor : Wahyu Anggana




BERITA LAINNYA


Close Ads x