Kompas TV kolom opini

Keindahan Sosial Ramadan

Sabtu, 1 April 2023 | 12:25 WIB
keindahan-sosial-ramadan
Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim (Sumber: Dok. Istimewa )

KompasTV Jawa Timur - Pada Ramadan 1444 H ini saya menemukan dua keindahan besar. Soal terawih dan bukanya warung sebelah.

Terawih Adalah Keindahan

Saya tertegun. Subhanallah. Segala puja bagi yang memuja dan segenap puji untuk yang memuji. Kepada-Nya dipersembahkan. Teguhkanlah bahwa kebesaran dan kemegahan dalam bentang semesta merupakan gelombang  kecil pada genggam kuasa-Nya. Tataran bima sakti yang membersitkan gerak galaksi dan memanggungkan putaran bintang-gemintang, bulan, bumi maupun matahari, berikut planet-planet yang berjibun jumlahnya, sejatinya hanyalah seberkas “jasad renik” dalam arasy-Nya. Pelajarilah bagaimana planet-planet itu dalam Alquran dikreasi  hingga diwerdikan sebagai bagian kecil saja dari tanda-tanda “maghligai otoritas-Nya”. Untuk itulah Allah swt memerintahkan agar manusia senantiasa berfikir, karena di setiap dirinya ada separangkat “jaringan elektronik humanis” guna mendayagunakan akal. Berpikir adalah seruan-Nya dalam serumpunan  firman-Nya. Maka bertadabburlah (“mengkaji secara tekstual”) atas seluruh “indikator-indikator” kinerja alam semesta dalam Alquran tanpa henti, sambil bertafakkur (“mengkaji secara kontekstual”) pada setiap percikan karya cipta-Nya.

Pandangkan sorot mata ke segala arah, engkau akan menyaksikan ketidakterhinggaan sumber ilmu. Setiap titik koordinat yang mampu dijangkau oleh panca indra  pastilah  menyentuh kosmologi  yang Allah swt telah perhelatkan. Tengoklah dengan dongakan  berapapun derajatnya dan rebahkan badanmu sampai pada lengkung sujud manapun, dan berpalinglah ke kanan, ke kiri, bahkan ke bawah sampai  dlosor, kau akan menyemai “tikar-tikar” iman yang semakin menebal, apabila mau mempergunakan daya pikirmu. Jumputlah setiap debu yang kalian dapati, disitu kan kautemukan  partikel  pembentuk gumparan tanah yang dapat menghasilkan berjuta lembar halaman buku untuk menerangkan asal-muasal materinya. Sampai pada lingkup inilah saya semakin memahami, mengapa dalam  Islam diutamakan bagi awam separti saya untuk lebih memikirkan apa yang seharusnya ditadabburi dan ditafakuri pada batasan di luar eksistensi Tuhan. Pikirkanlah ciptaan-Nya daripada engkau menjelajahkan nalarmu untuk Sang Gusti Allah swt.

Pada jelang sepekan ini saya terpesona atas hadirnya lingkar penjelajahan ruhani yang mendebar dengan sukma yang membuncahkan rindu Ramadhan. Ini kali saya menyaksi sesuatu yang semula hanya  sederet pejalan kaki untuk kemudian membentuk formasi yang menggelombang memanjang dengan pakaian mukena yang tampak memancarkan cahaya. Saat azan berkumandang  menandakan waktu shalat isya’ yang berbalut “lencana”   tarawih,  setarikan nafas yang terhela lega, saya menafsir satu-persatu kaum penyemat mukena itu ke luar seperti “sepasukan semut” yang beriring berjalan, sebelum akhirnya “membanjiri” jalanan untuk  “bersembunyi” di ruang-ruang masjid di setiap jengkal kawasan yang dihuni pengiman Islam. Imajinasi saya meluncur ke arah kisah Nabi Sulaiman AS yang membawa pasuken super jumbo, dan para semut itu tersentak kaget dan   bergerombol  menepikan diri agar tidak terinjak pasukan superpower Sulaiman AS.

Sungguh pergerakan “mukena putih” itu berkelebat membentuk formasi yang sangat terang arah yang hendak ditujunya: untuk menghantarkan raga bersukma iman yang menyimpuhkan diri di rumah Allah swt dengan cita rasa paling sempurna: meraih derajat orang beriman. Dari amatan inilah saya memberikan rasa hormat yang tinggi bahwa ibadah terawih sesungguuhnya memanifestasikan sebuah gerakan yang telah mampu membangun konstruksi sosial tentang perjalanan orang-orang menenun tauhid. Tarawih adalah pergerakan tauhid yang melalui “ritual inilah” Tuhan memberikan al-furqon, mana kaum pemanggul iman dengan yang sedang menjemput hidayah. Tidakkah ini sebuah keindahan sosial yang niscaya membisikkan kerinduan yang setia dinanti kedatangannya sebagai “tamu agung” di setiap tahunnya. Dan sudah dua tahun hal itu tidak terlaksana, tahun ini “kelebat mukena” dan “lampitan sarung” santri mewarnai malam-malam isya. Subhanallah.   

Lebih dari itu. Ada keindahan lainnya.

Editor : Wahyu Anggana

1
2



BERITA LAINNYA


Close Ads x