Kompas TV kolom opini

Keindahan Sosial Ramadan

Sabtu, 1 April 2023 | 12:25 WIB
keindahan-sosial-ramadan
Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim (Sumber: Dok. Istimewa )

Sebarisan Kaki

Saya menyaksikan. Kaki-kaki itu berjajar membentuk alur yang tingkat kerapiannya selaksa sepasukan militer yang digelar dalam parade baris-berbaris. Seolah melebihi pasukan penyerbu Ukraina. Kaki-kaki itu seolah berada dalam  shalat jamaah yang amat tertata. Kerapatan dan kesejajarannya sangat mengagumkan. Indah nan mempesona. Hanya saja kaki-kaki yang berjajar  menyiratkan bahasa yang amat santun atas tubuhnya. Kaki-kaki itu seperti menyuarakan betapa uniknya  karena kaki-kaki itu berjajar di bidik dampar warung-warung jalanan. Kaki-kaki itu terlintas tampak tidak bertubuh, apalagi berkepala. Kaki-kaki itu  memerankan gerak dari jasad tanpa awak yang sempurna. Kaki yang menyiratkan sebuah pesan yang  sublim sekaligus rahasia. Kaki yang tidak sembarangan muncul di areal publik atas awak yang disanggahnya. Kaki yang sangat berkepintaran untuk menyembunyikan harkat ragawi pejalannya. Bukankah kaki-kaki yang demikian itu yang memahami tentang kahanan  wulan Ramadhan.

Itulah selisik yang harus tersiratkan  atas realitas gang-gang sempit Kota Surabaya atau di luar sana yang memiliki warung-warung kampung, café-café kecil  para pedagang kaki lima. Ini tenda-tenda jajanan  yang membopong nasib pemiliknya di belantara Ramadhan. Saya menyaksi betapa hari-hari ini dapat dengan mudah memotret keberadaan para  konsumen “depot unyil” untuk sarapan pagi atau makan siang dengan lahapnya di kala “orang beriman”  mengerjakan  puasa Ramadhan. Saya tidak memasuki wilayah untuk menyoal hukumnya dalam kosmologi Ramadhan di  metropolitan yang sangat kompleks warganya. Tetapi saya hanya terkilik dengan rapinya barisan para penyantap hidangan  pinggiran kota  yang ditutup kain-kain seadanya. Ada keteduhan dan sebuah pesan untuk mendewasakan diri bagi penyaksinya.

 Ramadhan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya. Semula orang dengan bebas njeglak sekehendaknya, bila perlu dengan memamerkan piringnya demi larisnya obyek jualan. Di bulan Ramadhan ini, pemilik lapak makan menutupi etalase menunya dengan kain yang tetap menyiratkan keadaan bahwa kami tidak tutup meski berkelambu. Kami buka  dengan menyopankan diri melalui “sepotong kain”. Para pengandok tidak usah gelisah karena wajah dan ragamu tidak akan mampu dideteksi siapapun. Biarlah sebatas betis kaki-kaki itu saja yang menatap ramainya lalu lalang.

Ketahuilah bahwa  pemilik kaki itu  bukanlah tidak beriman. Puasa ini tidak mengharamkan mobilitas orang, sehingga yang makan tadi tetap kutafsir sebagai para musafir dan pekerja keras yang bertandang  ke kota. Untuk itulah warung perlu buka, karena kaum penjelajah tidak harus menjalankan puasa dengan tunai. Wanita yang sedang “merayakan bulanan” juga boleh mengridit puasanya dan  berarti disilahkan  menikmati sensasi  di  restoran di saat khalayak beriman ramai berpuasa. Ingatlah Q.S. Al-Baqarah ayat 184: …, fa mang kaana mingkum mariidhon au’alaa safarin fa’iddatum min ayyaamin ukhor, wa’alallaziina yuthiiquunahuu fidyatun tho’aamu miskin, fa man tathowwa’a khoiron fa huwa khoirullah, wa an tashuumuu khoirul lakum in kuntum ta’lamuun. Amat terang    bahwa barang siapa di antara kamu sakit atau bepergian (lalu tidak puasa), maka wajib mengganti sebayak hari yang dia tidak berpuasa pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan  orang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, tentu itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dengan ini semangatlah berpuasa,  “tunai” atau “kredit”.

Oleh: Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim.

Editor : Wahyu Anggana




BERITA LAINNYA


Close Ads x