Sebarisan Kaki
Saya menyaksikan. Kaki-kaki itu berjajar membentuk alur yang tingkat kerapiannya selaksa sepasukan militer yang digelar dalam parade baris-berbaris. Seolah melebihi pasukan penyerbu Ukraina. Kaki-kaki itu seolah berada dalam shalat jamaah yang amat tertata. Kerapatan dan kesejajarannya sangat mengagumkan. Indah nan mempesona. Hanya saja kaki-kaki yang berjajar menyiratkan bahasa yang amat santun atas tubuhnya. Kaki-kaki itu seperti menyuarakan betapa uniknya karena kaki-kaki itu berjajar di bidik dampar warung-warung jalanan. Kaki-kaki itu terlintas tampak tidak bertubuh, apalagi berkepala. Kaki-kaki itu memerankan gerak dari jasad tanpa awak yang sempurna. Kaki yang menyiratkan sebuah pesan yang sublim sekaligus rahasia. Kaki yang tidak sembarangan muncul di areal publik atas awak yang disanggahnya. Kaki yang sangat berkepintaran untuk menyembunyikan harkat ragawi pejalannya. Bukankah kaki-kaki yang demikian itu yang memahami tentang kahanan wulan Ramadhan.
Itulah selisik yang harus tersiratkan atas realitas gang-gang sempit Kota Surabaya atau di luar sana yang memiliki warung-warung kampung, café-café kecil para pedagang kaki lima. Ini tenda-tenda jajanan yang membopong nasib pemiliknya di belantara Ramadhan. Saya menyaksi betapa hari-hari ini dapat dengan mudah memotret keberadaan para konsumen “depot unyil” untuk sarapan pagi atau makan siang dengan lahapnya di kala “orang beriman” mengerjakan puasa Ramadhan. Saya tidak memasuki wilayah untuk menyoal hukumnya dalam kosmologi Ramadhan di metropolitan yang sangat kompleks warganya. Tetapi saya hanya terkilik dengan rapinya barisan para penyantap hidangan pinggiran kota yang ditutup kain-kain seadanya. Ada keteduhan dan sebuah pesan untuk mendewasakan diri bagi penyaksinya.
Ramadhan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya. Semula orang dengan bebas njeglak sekehendaknya, bila perlu dengan memamerkan piringnya demi larisnya obyek jualan. Di bulan Ramadhan ini, pemilik lapak makan menutupi etalase menunya dengan kain yang tetap menyiratkan keadaan bahwa kami tidak tutup meski berkelambu. Kami buka dengan menyopankan diri melalui “sepotong kain”. Para pengandok tidak usah gelisah karena wajah dan ragamu tidak akan mampu dideteksi siapapun. Biarlah sebatas betis kaki-kaki itu saja yang menatap ramainya lalu lalang.
Ketahuilah bahwa pemilik kaki itu bukanlah tidak beriman. Puasa ini tidak mengharamkan mobilitas orang, sehingga yang makan tadi tetap kutafsir sebagai para musafir dan pekerja keras yang bertandang ke kota. Untuk itulah warung perlu buka, karena kaum penjelajah tidak harus menjalankan puasa dengan tunai. Wanita yang sedang “merayakan bulanan” juga boleh mengridit puasanya dan berarti disilahkan menikmati sensasi di restoran di saat khalayak beriman ramai berpuasa. Ingatlah Q.S. Al-Baqarah ayat 184: …, fa mang kaana mingkum mariidhon au’alaa safarin fa’iddatum min ayyaamin ukhor, wa’alallaziina yuthiiquunahuu fidyatun tho’aamu miskin, fa man tathowwa’a khoiron fa huwa khoirullah, wa an tashuumuu khoirul lakum in kuntum ta’lamuun. Amat terang bahwa barang siapa di antara kamu sakit atau bepergian (lalu tidak puasa), maka wajib mengganti sebayak hari yang dia tidak berpuasa pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, tentu itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dengan ini semangatlah berpuasa, “tunai” atau “kredit”.
Oleh: Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim.
Editor : Wahyu Anggana