KompasTV Jawa Timur - Pada Ramadan 1444 H ini saya menemukan dua keindahan besar. Soal terawih dan bukanya warung sebelah.
Terawih Adalah Keindahan
Saya tertegun. Subhanallah. Segala puja bagi yang memuja dan segenap puji untuk yang memuji. Kepada-Nya dipersembahkan. Teguhkanlah bahwa kebesaran dan kemegahan dalam bentang semesta merupakan gelombang kecil pada genggam kuasa-Nya. Tataran bima sakti yang membersitkan gerak galaksi dan memanggungkan putaran bintang-gemintang, bulan, bumi maupun matahari, berikut planet-planet yang berjibun jumlahnya, sejatinya hanyalah seberkas “jasad renik” dalam arasy-Nya. Pelajarilah bagaimana planet-planet itu dalam Alquran dikreasi hingga diwerdikan sebagai bagian kecil saja dari tanda-tanda “maghligai otoritas-Nya”. Untuk itulah Allah swt memerintahkan agar manusia senantiasa berfikir, karena di setiap dirinya ada separangkat “jaringan elektronik humanis” guna mendayagunakan akal. Berpikir adalah seruan-Nya dalam serumpunan firman-Nya. Maka bertadabburlah (“mengkaji secara tekstual”) atas seluruh “indikator-indikator” kinerja alam semesta dalam Alquran tanpa henti, sambil bertafakkur (“mengkaji secara kontekstual”) pada setiap percikan karya cipta-Nya.
Pandangkan sorot mata ke segala arah, engkau akan menyaksikan ketidakterhinggaan sumber ilmu. Setiap titik koordinat yang mampu dijangkau oleh panca indra pastilah menyentuh kosmologi yang Allah swt telah perhelatkan. Tengoklah dengan dongakan berapapun derajatnya dan rebahkan badanmu sampai pada lengkung sujud manapun, dan berpalinglah ke kanan, ke kiri, bahkan ke bawah sampai dlosor, kau akan menyemai “tikar-tikar” iman yang semakin menebal, apabila mau mempergunakan daya pikirmu. Jumputlah setiap debu yang kalian dapati, disitu kan kautemukan partikel pembentuk gumparan tanah yang dapat menghasilkan berjuta lembar halaman buku untuk menerangkan asal-muasal materinya. Sampai pada lingkup inilah saya semakin memahami, mengapa dalam Islam diutamakan bagi awam separti saya untuk lebih memikirkan apa yang seharusnya ditadabburi dan ditafakuri pada batasan di luar eksistensi Tuhan. Pikirkanlah ciptaan-Nya daripada engkau menjelajahkan nalarmu untuk Sang Gusti Allah swt.
Pada jelang sepekan ini saya terpesona atas hadirnya lingkar penjelajahan ruhani yang mendebar dengan sukma yang membuncahkan rindu Ramadhan. Ini kali saya menyaksi sesuatu yang semula hanya sederet pejalan kaki untuk kemudian membentuk formasi yang menggelombang memanjang dengan pakaian mukena yang tampak memancarkan cahaya. Saat azan berkumandang menandakan waktu shalat isya’ yang berbalut “lencana” tarawih, setarikan nafas yang terhela lega, saya menafsir satu-persatu kaum penyemat mukena itu ke luar seperti “sepasukan semut” yang beriring berjalan, sebelum akhirnya “membanjiri” jalanan untuk “bersembunyi” di ruang-ruang masjid di setiap jengkal kawasan yang dihuni pengiman Islam. Imajinasi saya meluncur ke arah kisah Nabi Sulaiman AS yang membawa pasuken super jumbo, dan para semut itu tersentak kaget dan bergerombol menepikan diri agar tidak terinjak pasukan superpower Sulaiman AS.
Sungguh pergerakan “mukena putih” itu berkelebat membentuk formasi yang sangat terang arah yang hendak ditujunya: untuk menghantarkan raga bersukma iman yang menyimpuhkan diri di rumah Allah swt dengan cita rasa paling sempurna: meraih derajat orang beriman. Dari amatan inilah saya memberikan rasa hormat yang tinggi bahwa ibadah terawih sesungguuhnya memanifestasikan sebuah gerakan yang telah mampu membangun konstruksi sosial tentang perjalanan orang-orang menenun tauhid. Tarawih adalah pergerakan tauhid yang melalui “ritual inilah” Tuhan memberikan al-furqon, mana kaum pemanggul iman dengan yang sedang menjemput hidayah. Tidakkah ini sebuah keindahan sosial yang niscaya membisikkan kerinduan yang setia dinanti kedatangannya sebagai “tamu agung” di setiap tahunnya. Dan sudah dua tahun hal itu tidak terlaksana, tahun ini “kelebat mukena” dan “lampitan sarung” santri mewarnai malam-malam isya. Subhanallah.
Lebih dari itu. Ada keindahan lainnya.
Sebarisan Kaki
Saya menyaksikan. Kaki-kaki itu berjajar membentuk alur yang tingkat kerapiannya selaksa sepasukan militer yang digelar dalam parade baris-berbaris. Seolah melebihi pasukan penyerbu Ukraina. Kaki-kaki itu seolah berada dalam shalat jamaah yang amat tertata. Kerapatan dan kesejajarannya sangat mengagumkan. Indah nan mempesona. Hanya saja kaki-kaki yang berjajar menyiratkan bahasa yang amat santun atas tubuhnya. Kaki-kaki itu seperti menyuarakan betapa uniknya karena kaki-kaki itu berjajar di bidik dampar warung-warung jalanan. Kaki-kaki itu terlintas tampak tidak bertubuh, apalagi berkepala. Kaki-kaki itu memerankan gerak dari jasad tanpa awak yang sempurna. Kaki yang menyiratkan sebuah pesan yang sublim sekaligus rahasia. Kaki yang tidak sembarangan muncul di areal publik atas awak yang disanggahnya. Kaki yang sangat berkepintaran untuk menyembunyikan harkat ragawi pejalannya. Bukankah kaki-kaki yang demikian itu yang memahami tentang kahanan wulan Ramadhan.
Itulah selisik yang harus tersiratkan atas realitas gang-gang sempit Kota Surabaya atau di luar sana yang memiliki warung-warung kampung, café-café kecil para pedagang kaki lima. Ini tenda-tenda jajanan yang membopong nasib pemiliknya di belantara Ramadhan. Saya menyaksi betapa hari-hari ini dapat dengan mudah memotret keberadaan para konsumen “depot unyil” untuk sarapan pagi atau makan siang dengan lahapnya di kala “orang beriman” mengerjakan puasa Ramadhan. Saya tidak memasuki wilayah untuk menyoal hukumnya dalam kosmologi Ramadhan di metropolitan yang sangat kompleks warganya. Tetapi saya hanya terkilik dengan rapinya barisan para penyantap hidangan pinggiran kota yang ditutup kain-kain seadanya. Ada keteduhan dan sebuah pesan untuk mendewasakan diri bagi penyaksinya.
Ramadhan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya. Semula orang dengan bebas njeglak sekehendaknya, bila perlu dengan memamerkan piringnya demi larisnya obyek jualan. Di bulan Ramadhan ini, pemilik lapak makan menutupi etalase menunya dengan kain yang tetap menyiratkan keadaan bahwa kami tidak tutup meski berkelambu. Kami buka dengan menyopankan diri melalui “sepotong kain”. Para pengandok tidak usah gelisah karena wajah dan ragamu tidak akan mampu dideteksi siapapun. Biarlah sebatas betis kaki-kaki itu saja yang menatap ramainya lalu lalang.
Ketahuilah bahwa pemilik kaki itu bukanlah tidak beriman. Puasa ini tidak mengharamkan mobilitas orang, sehingga yang makan tadi tetap kutafsir sebagai para musafir dan pekerja keras yang bertandang ke kota. Untuk itulah warung perlu buka, karena kaum penjelajah tidak harus menjalankan puasa dengan tunai. Wanita yang sedang “merayakan bulanan” juga boleh mengridit puasanya dan berarti disilahkan menikmati sensasi di restoran di saat khalayak beriman ramai berpuasa. Ingatlah Q.S. Al-Baqarah ayat 184: …, fa mang kaana mingkum mariidhon au’alaa safarin fa’iddatum min ayyaamin ukhor, wa’alallaziina yuthiiquunahuu fidyatun tho’aamu miskin, fa man tathowwa’a khoiron fa huwa khoirullah, wa an tashuumuu khoirul lakum in kuntum ta’lamuun. Amat terang bahwa barang siapa di antara kamu sakit atau bepergian (lalu tidak puasa), maka wajib mengganti sebayak hari yang dia tidak berpuasa pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, tentu itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dengan ini semangatlah berpuasa, “tunai” atau “kredit”.
Oleh: Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim.
Editor : Wahyu Anggana