Kompas TV kolom opini

Dimensi Profetik, Gramsci, dan Pernak-pernik Perpolitikan di Indonesia

Selasa, 9 Mei 2023 | 10:42 WIB
dimensi-profetik-gramsci-dan-pernak-pernik-perpolitikan-di-indonesia
Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNESA, dan Pengurus MUI Provinsi Jawa Timur (Sumber: Dok. Istimewa )

Eskalasi politik akhir-akhir ini, khususnya pasca deklarasi calon presiden oleh partai politik meningkat dan terasa hangat menjelang suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024. Unjuk kebolehan dan pertunjukannya sudah terasa dan kelihatan pada berbagai lini, mesin partai politik juga mulai digerakkan melalui berbagai program, pendekatan kepada para tokoh yang berpengaruh mulai kelihatan, dan penjajagan antar partai politik. Demikian pula nuansa dan aroma gawe politik saat ini sudah mulai terasa di antaranya ditandai maraknya spanduk, baliho, papan bergambar para tokoh politik, unjuk kebolehan, baik di media cetak maupun online. Dinamika perpolitikan seperti ini akan indah dan cantik sebagai pernik-pernik perpolitikan apabila semuanya tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Dalam realitasnya tahun politik menjadi ajang expo bagi para eksekutif, politisi, pengamat, bahkan masyarakat lapisan bawah (grass root) untuk unjuk kebolehan sesuai dengan aspirasi yang diusung masing-masing. Hal ini sah-sah saja sepanjang semangatnya untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, tanpa melakukan kampanye negatif dan kampanye hitam kepada seseorang atau kelompok lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Di sisi lain dalam konteks perpolitikan di Indonesia biasanya sikap dan perilaku seseorang mudah sekali berubah bergantung pada situasi dan kondisi. Loyalitas dan komitmen yang ditunjukkan dengan sikap dan perilaku seseorang dalam suatu kepemimpinan, baik di pemerintahan maupun non pemerintahan menjadi taruhan kepercayaan, baik bagi ulil amri (pemimpin) maupun bagi yang dipimpin. Apabila terjadi perubahan loyalitas dalam satu kepemimpinan tanpa ada alasan yang dibenarkan biasanya dianggap sebagai inkonsistensi, hal demikian sering dijumpai dalam perpolitikan di Indonesia. Perubahan loyalitas tersebut sah-sah saja sepanjang memiliki tujuan yang baik untuk membangun bangsa yang lebih baik dengan visi dan misi yang sudah disiapkan, yang penting tetap dalam koridor demokrasi Pancasila.

Secara terminologi, ulil amri adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat amanah untuk memimpin atau menjalankan kepemimpinan. Dalam konteks memimpin bisa di pemerintahan, partai politik, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, desa, dan lain sebagainya. Sebagai top leader dan top management, ulil amri dengan amanah yang diemban memiliki tanggung jawab melaksanakan tugasnya dengan baik, dan masyarakat dalam pengertian komunitas dalam organ tersebut juga wajib mematuhi dan loyal kepada ulil amri sepanjang ulil amri berada di jalan yang benar dan tidak melakukan pelanggaran terhadap norma agama, hukum, susila, dan aturan lain yang mengikatnya.

Sementara politik pada skala lokal, seperti suksesi kepemimpinan di perguruan tinggi dan kepemimpinan di desa yang dipilih secara langsung juga tidak kalah menariknya dengan suksesi kepemimpinan pada skala nasional. Menyongsong suksesi kepemimpinan pada skala lokal, biasanya dimulai sekitar enam bulan sampai satu tahun menjelang suksesi periode berikutnya. Menyongsong suksesi kepemimpinan periode berikutnya, politik pada skala lokal ini umumnya ulil amri merasa biasa-biasa saja, sekalipun terkadang massa pengikutnya, khususnya tim sukses justru yang lebih tampak unjuk kebolehan mengawal ulil amri yang masih bertugas saat ini untuk dipersiapkan kembali pada periode berikutnya sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai aturan yang ada, sehingga kadang sempat mengganggu konsentrasi ulil amri yang masih menjalankan amanah saat periode berlangsung.

Walhasil, pemimpin di Indonesia dalam berbagai lini dan bidang saat ini dan ke depan tantangannya adalah bagaimana menjadi pemimpin yang mampu menerjemahkan sifat-sifat profetik dalam kepemimpinannya dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sekaligus membangun masyarakat yang menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh, yang tampak dari hubungan organis pemerintah dan yang diperintah, tanpa ada ketakutan dan keterpaksaan, semuanya berjalan mengalir di atas sendi-sendi demokrasi Pancasila. Dan, pemimpin yang jujur, amanah, cerdas, tanggung jawab, seta dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat adalah harapan bagi semua. Wallahu A’lam Bisshawab.

Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNESA, dan Pengurus MUI Provinsi Jawa Timur

Editor : Luky Nur Efendi




BERITA LAINNYA


Close Ads x