Kompas TV kolom opini

Dimensi Profetik, Gramsci, dan Pernak-pernik Perpolitikan di Indonesia

Selasa, 9 Mei 2023 | 10:42 WIB
dimensi-profetik-gramsci-dan-pernak-pernik-perpolitikan-di-indonesia
Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNESA, dan Pengurus MUI Provinsi Jawa Timur (Sumber: Dok. Istimewa )

KompasTV Jawa Timur - Dinamika perpolitikan di Indonesia, khususnya menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi hal menarik diperbincangkan. Isu-isu politik yang berkembang, baik dalam tataran politik nasional, khususnya Pilpres maupun politik lokal seperti di perguruan tinggi dan desa selalu menjadi isu hangat dan menarik bagaikan hidangan makanan prasmanan yang memiliki varian menu untuk dipilih. Dalam konteks politik nasional, tokoh-tokoh yang dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden menjadi bahan yang menarik didiskusikan, baik di TV, grup-grup media sosial, maupun di warung-warung, pun tidak terkecuali masyarakat lapisan bawah juga ikut tertarik membincangkan, minimal mereka mengetahui tokoh-tokoh politik yang sering muncul di TV. Dalam konteks kepemimpinan, sosok pemimpin harapan adalah pemimpin yang mendekati sifat-sifat profetik, yaitu shiddiq (jujur), amanah (dipercaya), fatonah (cerdas), dan tabligh (berani menyampaikan kebenaran) untuk tidak mengatakan memiliki sepenuhnya sifat-sifat tersebut.

Di sisi lain analisis terhadap sosok pemimpin juga menarik dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) seorang teoritikus politik dari Italia dengan teori hegemoni-nya. Menurut Gramsci ada tiga tingkatan hegemoni, yaitu totalitas hegemoni (integral), hegemoni yang merosot (decadent), dan hegemoni yang minimum (Patria & Arief, 2015). Totalitas hegemoni atau hegemoni total digambarkan dengan afiliasi masyarakat yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh, yang tampak dari hubungan organis pemerintah dan yang diperintah. Deskripsi tersebut cocok untuk mengilustrasikan salah satu sosok pemimpin Indonesia yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sifat-sifat profetik, minimal mendekati dan memiliki sebagiannya menjadi persyaratan penting bagi seorang pemimpin pada lini apapun dan pada level apapun, baik nasional maupun lokal. Dalam konteks kepemimpinan nasional di Indonesia belum banyak sosok pemimpin di pemerintahan yang memiliki sifat-sifat profetik secara holistik, minimal mendekati sifat-sifat tersebut, kecuali tokoh-tokoh tertentu. Demikian pula meminjam teori yang dikemukakan oleh Gramsci dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”, tampaknya juga belum banyak pemimpin di pemerintahan yang mampu membangun masyarakat yang menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Hal ini juga tidak terlepas dari kharisma moral dan intelektual yang melekat pada figur pemimpin. Dalam catatan kepemimpinan nasional, tampaknya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi salah satu figur pemimpin nasional yang mampu mewujudkan kepemimpinan moral dan intelektual yang melekat pada dirinya.

Sebagai contoh Gus Dur, tokoh yang sering mendapat sebutan akademisi, budayawan, kiai, dan politisi dalam satu balutan yang terintegrasi pada dirinya, dan darah biru yang melekat dari ayah dan kakeknya sebagai pahlawan nasional, Gus Dur menjadi pemimpin Indonesia yang mampu membangun masyarakat yang menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh, baik pada saat beliau menjadi Presiden RI maupun Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bahkan setelah Gus Dur meninggal banyak sekali pengikut dan pengagumnya, tidak hanya dari kalangan Nahdliyin (warga NU) akan tetapi juga dari berbagai komponen masyarakat, bahkan lintas agama, etnik, budaya, dan politik. Mereka hendak melanjutkan ide, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur, khususnya dalam konteks kemanusiaan dan toleransi.

Para pewaris atau pengikut Gus Dur ini menamakan dirinya dengan sebutan Gusdurian, komunitas ini jumlahnya ratusan di Indonesia ada di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Hal ini menjadi fenomena menarik karena tidak terjadi pada pemimpin lainnya, apalagi setelah pemimpin tersebut telah tiada, akan tetapi tidak demikian dengan Gus Dur, walaupun telah tiada, pemikiran dan keteladananya tetap menginspirasi bangsa dalam membangun negeri, di antaranya dengan hadirnya komunitas Gusdurian yang menjadi representasi estafet pemikiran dan perjuangan Gus Dur, bahkan banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang mengkaji dan meneliti tentang pemikiran Gus Dur dan juga komunitas Gusdurian belakangan ini di tengah kerinduan terhadap sosok pemimpin nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Sebagai tokoh nasional yang dinobatkan sebagai Bapak Toleransi, Gus Dur mampu menghadirkan sebagai pemimpin dan tokoh bangsa yang menghargai kemanusiaan di atas segalanya, tidak terikat dengan sekat agama, etnik, budaya, golongan, dan sebagainya. Pemimpin dengan kharisma kepemimpinan seperti ini yang akhirnya mengantarkan Gus Dur sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat berjasa dalam membangun perdamaian, toleransi, dan kemanusiaan secara universal, namanya tidak hanya dikenal di Indonesia, akan tetapi di belahan dunia, baik eropa, asia, timur tengah, maupun belahan dunia lainnya.

Pernak-pernik perpolitikan dewasa ini

Eskalasi politik akhir-akhir ini, khususnya pasca deklarasi calon presiden oleh partai politik meningkat dan terasa hangat menjelang suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024. Unjuk kebolehan dan pertunjukannya sudah terasa dan kelihatan pada berbagai lini, mesin partai politik juga mulai digerakkan melalui berbagai program, pendekatan kepada para tokoh yang berpengaruh mulai kelihatan, dan penjajagan antar partai politik. Demikian pula nuansa dan aroma gawe politik saat ini sudah mulai terasa di antaranya ditandai maraknya spanduk, baliho, papan bergambar para tokoh politik, unjuk kebolehan, baik di media cetak maupun online. Dinamika perpolitikan seperti ini akan indah dan cantik sebagai pernik-pernik perpolitikan apabila semuanya tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Dalam realitasnya tahun politik menjadi ajang expo bagi para eksekutif, politisi, pengamat, bahkan masyarakat lapisan bawah (grass root) untuk unjuk kebolehan sesuai dengan aspirasi yang diusung masing-masing. Hal ini sah-sah saja sepanjang semangatnya untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, tanpa melakukan kampanye negatif dan kampanye hitam kepada seseorang atau kelompok lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Di sisi lain dalam konteks perpolitikan di Indonesia biasanya sikap dan perilaku seseorang mudah sekali berubah bergantung pada situasi dan kondisi. Loyalitas dan komitmen yang ditunjukkan dengan sikap dan perilaku seseorang dalam suatu kepemimpinan, baik di pemerintahan maupun non pemerintahan menjadi taruhan kepercayaan, baik bagi ulil amri (pemimpin) maupun bagi yang dipimpin. Apabila terjadi perubahan loyalitas dalam satu kepemimpinan tanpa ada alasan yang dibenarkan biasanya dianggap sebagai inkonsistensi, hal demikian sering dijumpai dalam perpolitikan di Indonesia. Perubahan loyalitas tersebut sah-sah saja sepanjang memiliki tujuan yang baik untuk membangun bangsa yang lebih baik dengan visi dan misi yang sudah disiapkan, yang penting tetap dalam koridor demokrasi Pancasila.

Secara terminologi, ulil amri adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat amanah untuk memimpin atau menjalankan kepemimpinan. Dalam konteks memimpin bisa di pemerintahan, partai politik, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, desa, dan lain sebagainya. Sebagai top leader dan top management, ulil amri dengan amanah yang diemban memiliki tanggung jawab melaksanakan tugasnya dengan baik, dan masyarakat dalam pengertian komunitas dalam organ tersebut juga wajib mematuhi dan loyal kepada ulil amri sepanjang ulil amri berada di jalan yang benar dan tidak melakukan pelanggaran terhadap norma agama, hukum, susila, dan aturan lain yang mengikatnya.

Sementara politik pada skala lokal, seperti suksesi kepemimpinan di perguruan tinggi dan kepemimpinan di desa yang dipilih secara langsung juga tidak kalah menariknya dengan suksesi kepemimpinan pada skala nasional. Menyongsong suksesi kepemimpinan pada skala lokal, biasanya dimulai sekitar enam bulan sampai satu tahun menjelang suksesi periode berikutnya. Menyongsong suksesi kepemimpinan periode berikutnya, politik pada skala lokal ini umumnya ulil amri merasa biasa-biasa saja, sekalipun terkadang massa pengikutnya, khususnya tim sukses justru yang lebih tampak unjuk kebolehan mengawal ulil amri yang masih bertugas saat ini untuk dipersiapkan kembali pada periode berikutnya sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai aturan yang ada, sehingga kadang sempat mengganggu konsentrasi ulil amri yang masih menjalankan amanah saat periode berlangsung.

Walhasil, pemimpin di Indonesia dalam berbagai lini dan bidang saat ini dan ke depan tantangannya adalah bagaimana menjadi pemimpin yang mampu menerjemahkan sifat-sifat profetik dalam kepemimpinannya dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sekaligus membangun masyarakat yang menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh, yang tampak dari hubungan organis pemerintah dan yang diperintah, tanpa ada ketakutan dan keterpaksaan, semuanya berjalan mengalir di atas sendi-sendi demokrasi Pancasila. Dan, pemimpin yang jujur, amanah, cerdas, tanggung jawab, seta dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat adalah harapan bagi semua. Wallahu A’lam Bisshawab.

Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNESA, dan Pengurus MUI Provinsi Jawa Timur

Editor : Luky Nur Efendi




BERITA LAINNYA


Close Ads x