Lumajang, Kompas.TV Jawa Timur - Besarnya awan panas guguran Gunung Semeru yang terjadi pada 4 Desember 2021 silam menjadi titik balik perbaikan mitigasi bencana di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Konsep desa tangguh bencana yang melibatkan peran pemerintah, akademisi, komunitas, media, dan pelaku usaha ditingkatkan.
Abdul Jamin (60) masih mengenang cerita pilu pada 2021 silam saat ia mengungsi akibat awan panas guguran Gunung Semeru. Saat itu, warga Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, tengah tidur siang. Tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan melihat awan hitam pekat keluar dari Gunung Semeru. Ia pun bergegas lari menuju Desa Penanggal dengan sepeda motor. Rumahnya rusak akibat abu vulkanik Gunung Semeru sehingga tidak bisa ditinggali lagi.
“Saya saat itu sedang tidur siang. Saya lihat sekitar jam setengah 2 siang ada suara gemuruh. Lalu saya keluar rumah dan melihat ada awan gelap sekali. Banyak warga yang berlarian mengungsi. Saya takut sekali dan buru-buru mengungsi ke arah penanggal pakai sepeda motor,” kata Jamin saat ditemui di hunian tetap di Desa Sumbermujur, Candipuro.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang Patria Dwi Hastiadi menuturkan, awan panas guguran Gunung Semeru pada Desember 2021 menjadi evaluasi untuk meningkatkan pelatihan kesiapsiagaan. Salah satu upaya yang dilakukan yakni membentuk desa tangguh bencana (Destana).
“Peristiwa Desember 2021 merupakan peristiwa berskala besar dan diluar dugaan kami. Kami semua tidak menyangka jika guguran awan panasnya bisa sebesar itu dan menimbulkan korban jiwa. Tapi, dari peristiwa tersebut kami akhirnya belajar kalau semuanya tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sehingga jumlah korban tidak terlalu banyak seperti kemarin,” ujarnya.
Melalui program desa tangguh bencana (Destana), BPBD Kabupaten Lumajang merumuskan pelatihan kesiapsiagaan bencana untuk diri sendiri, keluarga, kelompok masyarakat, dan sekolah. Hingga saat ini ada 6 desa di Kecamatan Candipuro dan 6 desa di Kecamatan Pronojiwo yang menjadi Desa Tanggap Bencana.
Salah satunya yakni Desa Sumbermujur.
Plt Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lumajang Amni Najmi menjelaskan, kesiapsiagaan terhadap bencana harus dimulai dari diri sendiri. Masing-masing orang harus memiliki tas siaga bencana yang berisikan dokumen-dokumen penting seperti, KTP, Kartu Keluarga, ijazah, dan surat nikah.
Tidak hanya itu, tas siaga bencana juga harus dilengkapi peluit, makanan tahan lama, air mineral, lampu senter, obat-obatan pribadi, masker, radio portabel untuk mendengarkan informasi terbaru, dan pakaian ganti untuk 3 hari.
Warga juga dilatih mengenali berbagai macam peringatan dini yang bisa dilakukan. Petugas BPBD memperkenalkan konsep kentong papat atau kentong empat. Jika kentong dibunyikan sebanyak 4 kali berarti semeru mengeluarkan guguran awan panas dan warga harus segera evakuasi diri. Selain itu, warga juga belajar mengenali jalur evakuasi dan titik kumpul.
Amni menjelaskan, pelatihan kesiapsiagaan selalu digelar di ruang terbuka agar warga dan petugas BPBD bisa melakukan simulasi langsung sehingga warga bisa memahami. Setiap melakukan simulasi, petugas BPBD harus melakuakan pendekatan terlebih dahulu.
Sebab, masih banyak warga yang takut melakukan simulasi.
“Dulu sebelum APG tahun 2021, warga susah sekali diajak simulasi mitigasi bencana. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa setelah mitigasi Gunung Semeru erupsi. Jadi, kita harus pendekatan dulu. Mengelus dada dulu. Harus sabar. Namun pasca APG, warga akhirnya pelan-pelan mau ikut simulasi mitigasi bencana,” ungkap Amni saat berada di huntap Sumbermujur.
Penyintas awan panas guguran Gunung Semeru, Nurul Qomariah (30) mengatakan, sering mendapatkan pelatihan kesiapsiagaan bencana dari BPBD. Melalui pelatihan ini Nurul tidak lagi bingung cara menyelamatkan diri jika awan panas guguran terjadi.
“Dulu bingung banget cara menyelamatkan diri. Tapi, sekarang setelah dapat pelatihan jadi lebih tahu dan paham cara evakuasi diri sehingga enggak panik dan bingung lagi,” kata Nurul.
Pelatihan kesiapsiagaan bencana juga diberikan di sekolah yang masuk dalam kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Pelatihan diberikan ke siswa PAUD hingga SMA. BPBD masih melakukan sosialisasi ke siswa PAUD, TK, SD, dan SMP.
Saat ini BPBD Jawa Timur dan Kabupaten Lumajang telah membentuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) di SMA. Seluruh SMA di Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Pronojiwo telah memilik SPAB yakni SMAN 1 Candipuro dan SMAN 1 Pronojiwo.
“SPAB ini bertugas untuk mencegah dan menanggulangi bencana sehingga bisa menekan jumlah korban jiwa di lingkungan sekolah. SPAB bisa melibatkan guru, siswa, komite sekolah, bahkan hingga orang tua siswa,” jelas Amni.
Kepala Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Yayuk Sri Rahayu (51) mengatakan, konsep desa tangguh bencana mempermudah pengungsian dini dan penanggulangan bencana.
Saat Desa Sumbermujur menjadi wilayah terdampak yang terkena material abu vulkanik, warga lebih tahu tindakan yang harus dilakukan. Begitu pula, saat warga dari kawasan rawan bencana seperti Kajar Kuning dan Curah Kobokan mengungsi ke Desa Sumbermujur. Warga tahu cara menanggulangi bencana.
Pembentukan desa tangguh bencana pasca peristiwa awan panas guguran Gunung Semeru membuktikan pentingnya kesadaran warga, kesigapan pemerintah, dan kearifan lokal yang dikemas menjadi sistem mitigasi bencana.
Editor : Wahyu Anggana