Selama kuliah di Paris, Barbie rajin mengikuti perkembangan tren mode dunia. Ia memanfaatkan akses eksklusifnya ke berbagai majalah fashion internasional untuk memperluas wawasan dan mencari inspirasi.
“Saya selalu mengamati tren dunia dari berbagai kanal. Seperti saat di Paris berlangganan majalah-majalah fashion yang membantu saya memahami apa yang sedang menjadi tren. Itu semua saya kombinasikan dengan identitas budaya Indonesia dalam karya,” terangnya.
Di usia 17 tahun, Barbie tidak hanya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, tetapi juga mulai berkiprah di industri fashion internasional. Tekadnya membuahkan hasil ketika ia sukses membuka dua butik di Paris, tepatnya di Paris 8 dan Paris 13. Kedua butik itu menjadi pusat promosi batik dan kebaya Nusantara di tengah-tengah kota mode dunia
Dalam setiap karyanya, Barbie Awliya selalu memastikan bahwa identitas budaya Indonesia tetap terjaga. Melalui brand batik LD, ia merancang koleksi yang memadukan kain tradisional seperti batik dengan cutting modern yang sesuai dengan selera pasar global.
Salah satu koleksi terbarunya menggabungkan keindahan batik dengan gaya bangsawan Eropa kuno. Barbie merancang dress lengan panjang berbahan sutra dengan motif batik dari berbagai daerah di Indonesia, seperti batik Solo, Pekalongan, dan Cirebon. Untuk memberikan kesan elegan, ia menambahkan bustier berwarna komplementer.
“Eropa sangat menghargai seni, jadi corak batik Indonesia sangat cocok dengan selera mereka. Tapi yang terpenting, saya tetap mempertahankan keaslian pola batik itu sendiri,” ujarnya.
Koleksi ini dibuat menyesuaikan musim dingin di Paris, dengan bahan yang hangat namun tetap nyaman dipakai. Barbie juga memastikan desainnya terlihat modern dan elegan, sehingga bisa diterima baik oleh pasar muda maupun dewasa.
Meski sukses di Paris, Barbie tidak melupakan tanah air. Pulang ke “rumah”, ia langsung membuka butik pertamanya di Indonesia yang berlokasi di Jalan Ngagel Timur No. 23, Surabaya. Butik ini diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan pasar dalam negeri terhadap koleksinya.
Editor : Wahyu Anggana