KompasTV Jawa Timur - Seringkali kita mendengar satu ayat yang menjadi dasar utama dalam menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah. 183)
Dari ayat tersebut, Allah SWT mewajibkan umat Nbai Muhammad SAW untuk berpuasa, sama dengan orang-orang sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Contohnya kita melihat ritual yang dilakukan oleh Nabi Adam alaihis salam yang berpuasa dengan istikamah. Dikatakan, sebelum Nabi Adam bertemu dengan Siti Hawa ia melakukan puasa dan setelah bertemu dengan Siti Hawa juga berpuasa. Sehingga Nabi Adam memiliki satu rutinitas puasa setiap pertengahan bulan, yakni tanggal 13, 14, 15. Dalam agama Islam puasa di pertengahan bulan ini kemudian disyariatkan dan dinamakan dengan puasa ayyamul bidl.
Nabi Nuh alaihis salam juga melakukan puasa dan memerintahkan kepada kaumnya untuk berpuasa ketika berada di perahu dan mengarungi bahtera banjir dahsyat, sehingga Allah SWT memberikan keselamatan kepada Nabi Nuh beserta kaumnya. Nabi Daud alaihis salam juga melakukan puasa secara bergantian; satu hari puasa satu hari tidak. Nabi Musa alaihis salam pun melakukan puasa selama 40 hari di Gunung Turisina sebelum akhirnya mendapatkan wahyu Kitab Taurat.
Puasa dengan berbagai macam polanya yang dilakukan oleh para nabi dapat dikatakan sebagai bentuk tirakat untuk mendapatkan ridha ilahi dan mencapai tujuan dan derajat yang diharapkan. Ketika berpuasa, dalam keadaan lapar dan dahaga, maka akan tersirat makna keagungan nikmat dari AllahSWT.
Dengan demikian orang yang berpuasa akan berinterospeksi diri dan menemukan jati dirinya, sebagai hamba yang lemah dan selalu membutuhkan kenikmatan dari Allah subhanahu wa ta’la. Selanjutnya dia akan memiliki sikap kerendahan hati, ketawadlu’an dan kemantapan serta kekhusyu’an dalam berdoa. Maka doa yang mereka panjatkan mudah dikabulkan dan hajat yang mereka harapkan akan semakin mudah terijabahi.
Ketika Rasulullah SAW sampai di kota Madinah bertemu dengan orang-orang Yahudi pada tanggal 10 Muharram, Rasulullah mendapati mereka sedang melakukan puasa. Mereka ditanya oleh Rasulullah; “Kenapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab; “Karena pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dari kejaran Fira’un maka kami berpuasa dalam rangka untuk mensyukuri nikmat tersebut.” Rasulullah menyabdakan bahwa umat Islam lebih berhak untuk melakukan puasa di hari itu, sehingga di setiap tanggal 10 Muharram umat Islam disunnahkan untuk berpuasa yang disebut dengan puasa Asyura.
Esensi berpuasa dalam agama Islam adalah agar kita menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah SWT, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183. Definisi takwa yang sesungguhnya tidak hanya berhenti ketika melakukan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, akan tetapi ada satu substansi yang harus diselipkan dan menjadi dasar dari itu semua, yaitu kita melakukan perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya karena didasari dengan rasa ikhlas kepada Allah SWT.
Maka, marilah kita mengintrospeksi diri kita sendiri; apakah kita melakukan puasa berlapar diri, berdahaga, serta menahan hawa nafsu didasari dengan rasa keikhlasan karena Allah SWT? Atau kita melakukan itu semua karena terpaksa?
Menyikapi hal ini, kita diingatkan dengan pengklasifikasian tingkatan puasa menurut imam Al Ghazali; Bahwasannya puasa itu pada tiga tingkatan yaitu puasa umum, khusus, dan puasa khususul khusus. Puasa umum adalah puasa yang dilakukan masyarakat pada umumnya dimana dia menahan rasa lapar dan haus, menjauhkan dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa, menjauhi untuk berhubungan suami istri dan lain sebagainya. Jika beberapa poin ini bisa dilakukan maka dia sukses untuk menjadi orang yang berpuasa dengan tingkatan puasa umum.
Tingkatan yang kedua yaitu puasa khusus, yakni seseorang ketika berpuasa tidak hanya sekedar menahan rasa lapar, haus dan syahwat saja, akan tetapi juga dia juga menahan segala bentuk hal-hal yang membuat kotornya pandangan, pendengaran, dan lisan. Ini semuanya dihindari ketika dia berpuasa sehingga dalam praktiknya ketika berpuasa dia tidak mengucapkan kata-kata yang kotor, menjaga telingan dan pandangannya. Maka ketika dia melakukan semuanya berarti dia sukses masuk pada tingkatan puasa khusus.
Sedangkan tingkatan ketiga yaitu tingkatkan puasa khususul khusus. Ini adalah tingkatan yang paling tinggi. Dalam hal ini orang tidak hanya menjaga dirinya untuk menahan rasa lapar, haus, syahwat, menjauhkan diri dari maksiat, akan tetapi juga menjaga hatinya agar tetap bersama Allah SWT.
Pandangan imam al-Ghazali ini menjadi motivasi untuk kita dalam melaksanakan puasa, sekaligus menjadi nasehat kita untuk selalu berintrospeksi diri dalam merealisasikan puasa; apakah puasa kita betul-betul kita lakukan dengan penuh keikhlasan karena Allah SWT? Kenapa harus introspeksi diri dalam berpuasa dan apa hubungan antara interospeksi diri dan tujuan utama berpuasa (bertakwa)?
Sebenarnya, takwa dan interospeksi diri adalah dua hal yang sangat berkaitan, sehingga di dalam Alquran dikatakan: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al Hasyr. Ayat 18)
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk selalu melakukan introspeksi diri. Kita harus memikirkan apakah yang telah kita perbuat nantinya akan menjadi pelajaran untuk kemaslahatan di masa depan. Selalu memperhatikan apa yang telah kita lakukan seharusnya memiliki efek maslahat untuk akhirat. Maka dari itu dikatakan bahwa orang yang berakal harus memiliki tiga prinsip, yaitu; pertama, dia mampu mengetahui situasi zamannya, kondisi sekitarnya. Kedua, dia selalu melakukan aktifitas yang berdampak positif serta memberikan kemaslahatan untuk dirinya dan juga untuk orang-orang yang ada disekitarnya. Ketiga, dia selalu ingat kepada Allah SWT.
Maka dari itu, melalui berpuasa dalam rangka untuk mecapai ketakwaan, kita harus senantiasa menggerakkan otak kita untuk berinterospeksi diri. Dengan demikian, kita akan selalu termotivasi untuk lebih baik dan sempurna dalam beribadah dan melakukan kebaikan untuk kemaslahatan diri kita kelak nanti di akhirat. Pada akhirnya, hisablah (interospeksilah) diri kalian sebelum kalian dihisab. Perlu kita ingat, bahwa mereka yang memiliki hisab yang ringan kelak nanti di akhirat adalah mereka yang selalu menghisab (menginterospeksi) dirinya ketika dia hidup di dunia.
Editor : Luky Nur Efendi