Kuncinya para pelaku industri migas tidak alergi dengan media massa di era informasi keterbukaan sekarang. Bahkan media massa arus utama sangat penting untuk mengkonfirmasi atau membantah kabar-kabar yang muncul secara liar di media sosial. Kehadiran media massa sangat dibutuhkan pada situasi saat ini
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan, salah satu tantangan yang dihadapi industri migas saat ini adalah krisis di Eropa.
"Krisis Geopolitik Rusia - Ukraina yang memicu sanksi dari Uni Eropa dan AS terhadap Rusia menyebabkan terganggunya faktor fundamental supply - demand," katanya.
OPEC berupaya untuk mengendalikan produksi untuk menyeimbangkan permintaan dan harga minyak dunia. Namun potensi resesin global yang berpotensi menurunkan tingkat permintaan global. Bank Sentral beberapa negara yang akan menaikkan suku bunga berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi global.
Sementara itu banyak potensi migas di Indonesia yang perlu mendapat perhatian. Terhitung sejak akhir 2021, terdapat 128 basin, 68 di antaranya un-drilled atau belum dibor. Cadangan produksi lapangan migas di Indonesia tercatat 2.44 BBO and 43.6 TCF, berdasarkan data 19 Januari 2021.
"Sekitar 70 persen wilayah kerja migas produksi telah mengalami penurunan produksi alamiah. Sementara biaya produksi dan pemeliharaan mature fields terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya," kata Komaidi.
Riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature fields dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata 30 tahun. Saat ini sekitar 52 persen atau 40 WK migas produksi merupakan mature fields. Sebanyak 36 WK berumur 25-50 tahun dan 4 WK berumur lebih dari 50 tahun.
"Perbaikan fiskal dan insentif masih diperlukan untuk meningkatkan investasi migas ke depan dalam mencapai target 1 Juta BOPD Minyak dan 12 BCFD Gas di tahun 2030," kata Komaidi. Namun ternyata iklim investasi migas di Indonesia dianggap kurang menarik.
Editor : Luky Nur Efendi